Setelah 500 tahun Reformasi Protestan:  Gereja Mencari Spiritualitas Baru

Oleh pdt Martin Lukito Sinaga d.th

 

Arti Reformasi

Ada sebuah buku kecil yang dapat dianggap sebagai traktak tentang Reformasi Protestan, dan ditulis oleh Martin Luther sendiri, berjudul On Christian Liberty (1520),  Kebebasan Seorang Kristen (karya ini bahkan diterjemahkan oleh Edward Nyhus ke dalam bahasa Indonesia, terbit di Pematangsiantar, Depot Buku-buku Metodis, 1971). Buku ini memudahkan kita memahami gerakan ini, dan karena populernya buku ini sampai sekarang masih sesekali dijual bahkan di toko-toko buku di airport internasional.

Buku ini menguraikan secara sederhana inti Reformasi yaitu mengenai kebebasan beragama yang harus dimulai–bahkan semata-mata bertolak-dari kebebasan batin, dari jiwa yang dalam kegembiraannya tidak lagi hidup dalam kungkungan agama dan hukum (agama). Ada yang menyala di dalam jiwa orang percaya, yaitu status bebas sang manusia, yang ia dapatkan karena mempercayakan diri di hadapan Allah yang membenarkannya (“justification”, atau menerimanya), dan  menimpalinya dengan anugerah.

Pendek kata, Luther amat menekankan bahwa bentuk inner liberty  sungguh terjadi dalam diri manusia, di hadapan Allah, coram deo, yang datang sebagai Bapa penuh rahmat. Dalam terang  kebebasan batiniah ini, maka kini manusia bisa merayakan hidup sedalam-dalamnya dan selapang-lapangnya, lalu mengambil sikap sebagai pribadi yang bertanggungjawab,  dan hanya mau berdiri di bawah satu otoritas, yaitu Sabda Allah yang ia renungkan dalam hatinya.

 

Selanjutnya, kalau setiap manusia sungguh bebas merdeka dalam jiwanya, maka ia akan  mampu mengasihi sesamanya, dan juga menerima kebebasan orang lain. Lantas, kalau mau, bisa bersama-sama merayakan kebebasan tersebut, dalam sebuah masyarakat yang tidak lagi dibingkai oleh agama tertentu. Dengan demikian ihwal institusi dan posisi legal agama dalam negara yang berdaulat tidak terlalu dipermasalahkan dan tidak lagi menjadi kepentingan utama gereja, sebab yang penting ialah tumbuhnya budaya toleran dalam kehidupan sosial politik bangsa.

 

Pernah pangeran Ulrich von Hutten di Jerman menawari Luther kuasa dan “pedang” untuk menjaga “kebebasan” Protestantisme (yang lantas menjadikan gereja itu istimewa), namun jawab Luther, “Hanya dengan Sabda dunia ini dihadapi, hanya oleh Sabda sajalah gereja dipelihara, dan oleh Sabda pulalah gereja akan dibaharui” (Surat Kepada Spalatin, terbit tahun 1521, tercatat dalam  buku karya Giovanni Miegge, Religious Liberty, 1957).

 

Untuk menyempurnakan perspektif awal “modern state” Luther ini (dimana agama dan negara dibedakan bahkan dipisahkan), pemimpin Reformasi Protestan lainnya (yaitu Yohanes Calvin, di Genewa-Swiss), dalam acuan pada kebebasan jiwa oleh karena Sabda tadi, akhirnya bersepakat bahwa Gereja Katolik dan Protestan bisa hidup dalam hormat akan independensinya masing-masing setelah ratusan tahun perang agama, di bawah negara yang berdaulat dan legitim. Negara yang legitim (dan sekular)-lah yang kini diminta membantu menciptakan ruang kebebasan tadi. Tak perlu lagi terjadi pengistimewaan satu agama oleh negara tertentu, bahkan Christendom, yang dulu dianggap seolah adalah inti peradaban Eropa, kini dipandang tidak relevan lagi dan bahkan membahayakan karena dapat memberi legitimasi keliru pada negara. Konon model Calvin ini yang menjadi cikal bakal gagasan religious liberty  di seantero dunia.

 

Namun selanjutnya, semangat beragama Protestantisme–setelah kena badai Pencerahan- berbelok menjadi Pietisme  (seputar tahun 1675); akibatnya Protestantisme menjadi agama pengalaman, yang membuat iman adalah perkara hati dan kesalehan. Gerakan Pietisme inilah yang nanti datang dan mengirim para misonarisnya ke Indonesia, dan menyerukan pertobatan dari “kekafiran”. Tapi kita kini perlu waspada, agar warisan pietisme  tidak menjadikan kesalehan sebentuk hukum yang kaku, tapi berharap agar pietisme tetap sebentuk disiplin rohani yang ditunaikan juga dalam kebebasan.

 

Demokratisasi Hidup

Selain dimensi batin yang bebas itu, maka dimensi sosial Protestantisme ialah pada dukungannya atas demokratisasi hidup beragama. Sebagaimana kita tahu, “rekan kerja” Protestantisme kala itu ialah mesin cetak Guttenberg (sekarang ada diskusi besar dengan tema yang semakin kompleks, yaitu problem “Dari Guttenberg ke Google”). Akibat kerjasama yang unik ini, maka agama lantas berada “tercetak” dan menyebar di lapis bawah rakyat, milik masyarakat sipil, dan dihayati secara personal. Artinya ada emansipasi khususnya dalam proses pengartian dan praktik agama itu sendiri (baca: proses penafsiran Kitab Suci).

Hal ini tentu terjadi  karena berlangsung penyebaran otoritas Kitab Suci ke masyarakat, dan akibat lain dari proses hermeneutik emansipatif itu ialah pemakaian akal budi manusia dalam usaha memahami teks Alkitab tadi. Dengan begitu, terciptalah masyarakat dalam pengertian sebagai sebuah realitas otonom, yang membaca, menafsir, berpikir dan memberi suaranya. Masyarakat kini menjadi realitas yang sungguh nyata, dan ia ada karena semata-mata disokong oleh warganya yang bebas  (masyarakat tidak tercipta karena ekses kuasa raja atau pun tuah agama, dan masyarakat tidak lagi bicara tentang “kehormatan”-honor– tetapi tentang “martabat” –dignity– dari tiap individu).

 

Mencari Arah Spiritualitas Baru

Atas kebebasan iman di atas, yang dirayakan di pelataran masyarakat demokrasi  modern dengan individu yang martabatnya dilindungi tersebut, ternyata kehidupan pribadi dan sosial yang diarahkan Reformasi cenderung bercorak borjuasi-liberal; Luther turut bertanggungjawab atas penindasan yang dilakukan oleh para pengeran Jerman terhadap pemberontakan petani Munzer kala itu. Dengan kata lain Luther/Reformasi  tak cukup terbuka kepada emansipasi sosial para petani/atau buruh sehingga konstruksi masyarakat yang adil belum cukup menjadi bagian dari cita-cita dan gerakan Reformasi. Belum juga muncul semacam “Ajaran Sosial Gereja” yang secara signifikan berkembang dalam kubu sejarah Protestantisme. Yang muncul misalnya dengan karya besar Ernst Troelstch “The Social Teaching of the Christian Church” justru tentang segmentasi dalam gereja itu sendiri akibat realitas sosialnya, artinya kenyataan modernitaslah yang justru membentuk realitas dan bentuk gereja: sehingga ada tipe Gereja, Sekte dan Monastisisme yang bermunculan dari sejarahnya.

Di pihak lain,  dengan munculnya emansipasi modern akibat Reformasi, ada yang  tampak “kebabalasan”, sebab yang kelihatan justru sebentuk perpecahan gereja yang tiada akhirnya. Di Indonesia saja ada kurang lebih 20 juta umat Kristiani Indonesia[1] (di Jakarta 11%, Jabar 5%, Jateng 3,7%, di SUMUT 25%, SULUT 6,9%, NTT 7,3%, Papua 8,3%, di tempat-tempat lain dan Kalimantan 28%). Dan ada 322 demominasi, yang 98 darinya berpusat di Jakarta. Ada 210 STT (sekolah teologi), dan 6 STAKN (sekolah guru agama). Ada 48.747 gereja dan dengan gedung permanen sebanyak 25.435 buah. Melihat semua ini Reformasi yang terjadi di Indonesia seperti  kehilangan energi dan gagasan untuk menjadikannya sebentuk “kesatuan dalam kesaksian” (gerakan oikoumene). Tetapi yang muncul ialah gerakan pertambahan tanpa arah yang jelas, dan tanpa makna sosial yang konstruktif.

Gerakan keesaan gereja di Indonesia (yang diwadahi oleh PGI) malah sedang bergumul tentang relevansinya kini, agar ia lebih dari sekadar representasi umat kristen di hadapan pemerintah. Yang lebih parah lagi, sekarang ini hidup bergereja itu seperti sebentuk kompetisi di pasar, dan tak jarang gereja-gereja yang “kalah bersaing” akan tergerus dan tertinggal dalam segala hal. Ekumenisme Protestan mesti menemukan arah spiritualitasnya yang baru, apalagi di  hadapan kemajemukan agama, sebab kalau tidak keadaan pertambahan dan perpecahan gereja-gereja saat ini bisa mendatangkan syak khususnya dari umat Islam karena “church planting” seolah menjadi cara missi gereja di  Indonesia. Dan itu terkesan agresif sebab urusan bergereja menjadi serba pembangunan rumah ibadah semata.

Kerohanian Protestan pun sedang mengalami sebentuk krisisnya khususnya dalam menjawab pencarian spiritualitas di ruang modern. Maka bermunculanlah fundamentalisme dan neo-pentakosta Karismatik sebagai upaya menghadapi kebebasan dunia modern ini. Pietisme terbukti tidak cukup kuat menghadapi gempuran sosial-dulu ia semacam  “perasaan religius” (“Gefuehl”, kata Schleiermacher) yang dianggap mampu menghadapi rasionalisme yang menguasai Eropa kala itu, namun penekanan pada “yang semakin serba rohani” dari kalangan neo-pentakosta karismatik masa kini hanya menyisakan lubang besar dalam spiritualitas Kristiani. Lubang itu akibat iman yang terlalu didorong bergerak pada eksperimentasi rohani, namun bungkam pada soal-soal sosial-material yang di era globalisasi ini sungguh menentukan nasib sehari-hari manusia.

Di pihak lain fundamentalisme Kristen berperang di zona lain lagi; ia adalah respons patologis atas gempuran sains modern atas iman kristen. Akibat masuknya rasionalisme modern ke dalam teologi Kristen (dan kuatnya metodologi sains dalam kehidupan sehari-hari) maka legitimasi kebenaran iman Kristen mengalami krisisnya saat ini. Gerakan fundamentalisme yang ingin memastikan kebenaran secara tegas itu, hanya menunjukkan kegamangan protestantisme berdialog dengan nalar kritis dunia modern.

Untuk itu semua, sebentuk spiritualitas protestan yang lebih terbuka, mengakar pada isu sosial, namun relevan di zaman hiper-modern ini sungguh mendesak ditemukan, agar gereja Reformasi yang setelah 500 tahun memisahkan diri dari gereja Katolik cukup bertanggungjawab menyembuhkan batin anak-anaknya sendiri. Protestantisme seolah diminta lagi dan bahkan dituntut, dalam kebebasan iman yang adalah inti gerakannya itu, menemukan pelabuhan jiwa dari hidup manusia yang resah ini, di era yang disebut oleh Anthony Giddens sebagai serba tunggang langgang ini.

 

—-
Pdt Martin Lukito Sinaga adalah pendeta GKPS (Gereja Kristen Protestan Simalungun), dan dosen luar biasa di STFT Jakarta. Pernah bekerja di lembaga ekumenis “Lutheran World Federation” (2009-2012), dan kini sebagai staf ahli di UKP-Pancasila.

[1] Data-data dicatat dari studi mutakhir Myengkyo Seo, State Management of Religion in Indonesia, Routledge, London, 2013.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *