Sebuah Kisah untuk Berdamai di Masa Lalu

Kisah ini adalah sebuah lembaran kehidupan masa laluku, tepatnya lembaran kehidupanku sekitar dua puluh tahun yang lalu. Sebuah lembaran hidup yang dirajut dalam sebuah kebersamaan dalam keluarga yang mencoba bangkit dari keterpurukan hidup. Kisah yang terjalin begitu membekas, membentuk kepribadianku sampai saat ini.

Kisah yang akan saya ceritakan ini bermula, ketika matahari senja kala itu sudah menyemburatkan warna kuning keemasan. Warnanya menembus pohon-pohon di tepi jurang  di pinggir perladangan kami. Warna kuning keemasan yang berpendar tersebut, membuat suasana sore itu bertambah semarak.  Udara sudah mulai dingin. Suara binatang (sarpitpit) dari jurang yang hampir mengelilingi ladang kami, sudah mengeluarkan suara khasnya.  Suara binatang tersebut, bagi kami artinya adalah hari sudah mulai malam, waktu untuk pulang.

Seolah menuruti pesan suara binatang tersebut, kami pun bergegas menyelesaikan pekerjaan kami. Setengah berteriak, ayah menyuruh kami untuk duluan pulang ke gubuk. Beliau masih melanjutkan pekerjaan yang mungkin masih tanggung. Sambil berjalan menuju gubuk, kami pun memetik sayur yang akan kami masak. Sayur yang kami petik tersebut banyak tumbuh di ladang. Tumbuh di antara tanaman-tanaman yang sudah memanjang atau di sela-sela kayu yang sudah kering. Namanya sayur ranti (layutu). Rasanya pahit. Sepandai-pandainya kita memasak, rasanya itu-itu saja. Kalau dicampur mi instant rasanya baru sedikit berbeda. Walau rasanya pahit dan kadang sudah menjadi makanan kami yang rutin, sayur ranti (layutu) tetap menjadi sayur yang kami sukai, entah mengapa. Mungkin karena tidak ada pilihan sayur  lain di ladang kami yang nun jauh dari keramaian.

Maksud saya menyebut ladang kami jauh dari keramaian, karena  saat itu keluarga kami sedang mencoba bangkit kembali setelah usaha ayah terpuruk.  Usaha dagang ayah (jual-beli jahe) bangkrut. Saat itu (tahun sembilan puluhanan) harga jahe tiba-tiba turun drastis. Padahal ayah sudah banyak memborong jahe masyarakat di ladang mereka. Sontak saja kondisi ini membuat ayah limbung. Mencoba bertahan, sia-sia saja. Hutang menumpuk. Saya masih ingat dengan jelas, suatu hari  seorang petugas bank bersama seorang polisi datang ke rumah untuk menagih hutang. Jumlahnya saat itu mencapai empat puluh juta rupiah. Bukan jumlah yang sedikit saat itu. Akhirnya, satu-persatu mobil untuk usaha ayah dijual. Mulai  dari colt diesel 120 PS dan Mitsubishi 220 PS. Yang terakhir dijual adalah mobil jeep hardtop.

Babak baru dalam kehidupan kami pun dimulai.  Kami memulai dari titik nol, keluarga kami mencoba untuk bangkit kembali. Ayah memulai usaha kembali dengan pergi ke ladang. Jaraknya delapan  kilometer dari rumah dan harus ditempuh dengan berjalan kaki. Kami biasanya pergi ke ladang hari senin dan kembali ke rumah hari sabtu untuk mengikuti ibadah pada hari minggunya. Saat berjalan kaki ke ladang merupakan saat yang menyenangkan. Saya bersama abang akan bersendau-gurau.  Sesekali kami beristirahat di pinggir jalan, mencari pohon sanduluk untuk dimakan buahnya. Kalau pohon ini berbuah, buah dari bunganya bisa dimakan. Rasanya tidak ada. Yang membuat menarik dari buah ini adalah lidah akan berwarna ungu setelah siap memakannya. Kami akan saling menjulurkan lidah, menunjukkan lidah siapa yang paling berwarna ungu. Di lain kesempatan, kami mencari sarang burung pipit. Perjalanan yang seyogianya di tempuh satu jam, akhirnya bisa sampai dua jam. Namun ayah tidak pernah memarahi kami kalau terlambat sampai di ladang.

Di ladang kami -juma haen-  itulah terbentuk  kehidupan pribadiku, dibentuk untuk bisa hidup sederhana, mencukupkan diri dalam segala  keterbatasan. Jangan pernah mengeluh dan putus asa, tetapi selalu bersyukur kepada yang maha kuasa. Bagaimana tidak? Karena saat itulah saya dilatih untuk bisa menghayati  itu semua. Saya dilatih untuk bekerja keras, setiap sore harus pergi ke jurang untuk mengambil air untuk kebutuhan memasak, memikulnya di atas pundak, menaiki jalan yang licin dan miring. Tentu saja, pekerjaan itu untuk seusiaku sungguh memberatkan. Namun apa daya, kehidupan memaksa untuk melakukan itu semua. Kami terbiasa tidur tanpa selimut, biasanya tidur dengan melipat tikar dan menggulungnya ke tubuh (marsiluban). Penerangan hanya sebuah lampu teplok yang minyaknya hanya cukup menerangi sampai jam dua belas malam. Sisanya kami tidur dalam kegelapan dan keheningan malam yang panjang. Pagi harinya kami akan tertawa terbahak-bahak, karena asap lampu teplok yang menggumpal di langit-langit gubuk kami akan jatuh ke wajah kami. Wajah  menjadi coreng moreng berwarna kehitaman. Saat itu hiburan satu-satunya hanya sebuah radio dengan tenaga baterai. Kalau daya baterainya sudah habis, maka akan dijemur di panas terik matahari. Saya masih ingat siaran favorit kami saat itu adalah serial bersambung “Nini Pelet.” Kami tidak mau ketinggalan serialnya, biasanya kami menirukan Nini Pelet tertawa, dan itu merupakan hiburan tambahan bagi kami ketika bekerja.

Kini itu semua tinggal kenangan. Tidak ada lagi cerita tidur tanpa selimut dan tanpa penerangan (marjuma modom). Situasi sudah berubah, ayah tidak tidur di ladang lagi. Situasi ekonomi keluarga kami sudah sedikit membaik. Saat ini, pakaian yang saya pakai tidak kumal dan robek seperti yang dulu lagi. Setiap hari minggu saya sudah pakai jas dan jubah.

Sayur ranti (Layutu), itu adalah simbol kehidupan pada masa laluku. Rasa sayur Ranti yang pahit, membawa saya kembali kepada kehidupan keluarga kami yang pahit. Saat ini, ketika saya memakannya, pikiranku selalu dibawa pada kenangan-kenangan di masa silam yakni saat-saat yang menyenangkan, melewati masa kecil bersama keluarga. Saya teringat gubuk kami di pinggir jurang, gubuk yang terbuat dari papan dan beratapkan alang-alang (rih) telah setia melindungi kami dari panas dan hujan. Saya teringat bagaimana kami larut dalam tawa di tengah dinginnya malam yang menembus dinding gubuk kami. Kenangan itu kembali hadir dalam hidupku, melalui semangkuk sayur ranti (layutu).

Berbekal pengalaman itulah saya menyakini makna kehidupan baru akan kita peroleh kalau kita kembali ke kehidupan kita di masa lalu. Mengambil saripati hikmah dari kehidupan yang telah kita jalani. Berdamai dengan masa lalu, dengan kehidupan yang kembali  ke masa lalu, konsep saya tentang kaya dan miskin itu sudah berubah. Bagiku orang miskin itu bukan orang yang tidak memiliki apa-apa, tapi mereka yang memiliki terlalu banyak keinginan, dan celakanya keinginannya itu membuat dia jauh dari sebuah kesederhanaan hidup, kerelaan menerima diri sendiri, dan akhirnya membawa pada kekosongan jiwa. Berdamai dengan segala keinginan di dalam hati termasuk kehidupan di masa lalu, bagiku itu adalah  kunci untuk bisa merayakan hidup ini dengan damai.  Berbekal pengalaman tersebutlah, saya dapat menikmati hidupku saat ini sebagai seorang pelayan.

Terimakasih sayur ranti (layutu), kehadiranmu mengingatkanku untuk selalu bermawas diri.

Bahapal  Raya, Maret  2019

Pdt Defri Judika Purba S.Th

Penulis adalah Pendeta GKPS Resort Bahapal Raya

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.