Pendahuluan

Dunia ini terus berubah. Jumlah penduduk tiap hari bertambah dan lingkungan eksternal berubah, intelektualitas berubah, moralitas berubah, keinginan manusia berubah, perilaku dan budaya berubah, maka dapat dipastikan komunitas akan berubah dan nilai-nilai yang ada di masyarakat juga berubah. Akibatnya, tuntutan kebutuhan hidup masyarakat meningkat termasuk kualitas pelayanan publik akan meningkat pula. Permintaan yang tinggi dan banyaknya organisasi yang mengantisipasi demand masyarakat, akan semakin mempertinggi persaingan antar organisasi yang sejenis. Konsekuensinya akan ada organisasi tetap eksis dan ada organisasi yang tersisih dalam menghadapi persaingan/kompetisi global abad 21. Oleh karena itu organisasi perlu berubah, dan untuk mengubah organisasi kunci utamanya adalah mengubah pola pikir (mindset) dan pola budaya (culturalset) seluruh umat manusia/anggota organisasi itu sendiri.

Perubahan merupakan sesuatu yang pasti terjadi, sebab tidak ada yang abadi di dunia ini kecuali perubahan itu sendiri. Bahkan tegas dalam Roma 12 ayat 2 mengatakan: “Janganlah kamu menjadi serupa dengan dunia ini, tetapi berubahlah oleh pembaharuan budimu, sehingga kamu dapat membedakan manakah kehendak Allah: apa yang baik, yang berkenan kepada Allah dan yang sempurna.” Ini mensyaratkan bahwa Tuhan tidak akan mengubah nasib umatnya, kecuali oleh umat itu sendiri. Perubahan adalah suatu fenomena yang pasti terjadi, berkesinambungan dan terus menerus dengan tujuan untuk mempertahankan kelangsungan hidup. Dalam perubahan tentunya perlu dipahami, darimana mulai dan akan kemana menuju, dan kalimat selanjutnya adalah bagaimana cara berubah agar sesuai dengan tujuan yang akan kita capai.

Perubahan sebagai konsep masa depan sering disebut dengan pembaharuan atau reformasi, yaitu proses menuju kearah terwujudnya keadaan baru, kondisi yang lebih baik dibandingkan dengan keadaan sebelumnya. Perubahan adalah merupakan kebutuhan setiap organisasi maupun masyarakat, hal ini sejalan dengan visi dan misi masing-masing organisasi serta dinamika perubahan lingkungan, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Menurut Flagello (1998: 16), “change is growth, change is opportunity, change is to increase potensial (perubahan adalah pertumbuhan, perubahan adalah kesempatan, dan perubahan adalah meningkatkan potensi).  Perubahan pada umumnya terjadi karena antara lain:

  1. Perubahan secara alamiah

Perubahan ini berjalan secara alamiah, dan hanya menyentuh perubahan-perubahan kecil, dan pada umumnya tidak memerlukan strategi khusus, bahkan perubahan tidak menjadi prioritas organisasi, terkadang anggota organisasi sama sekali tidak mengetahui apa arti dari perubahan itu sendiri, dan perubahan itu tidak disadarinya. Dampak hasil dari perubahan ini sangat kecil dan akan ketinggalan oleh perubahan lingkungan yang begitu cepat. Oleh karena itu, sering terdengar ungkapan bahwa sistem organisasi gereja ortodok ketinggalan jauh dari organisasi  gereja modern.

  1. Perubahan karena adanya tekanan atau paksaan

Perubahan terjadi akibat adanya tekanan, baik dari pemilik organisasi, atau akibat dari tekanan fihak-fihak yang berkepentingan, termasuk masyarakat, dalam hal ini anggota jemaat dengan berbagai tuntutannya. Perubahan pada tingkat ini sangatlah menyulitkan, karena biasanya anggota organisasi tidak siap untuk berubah. Akibatnya terjadi perubahan secara parsial, terkotak-kotak, hanya dilakukan perubahan terhadap apa yang ditekankan oleh pihak lain. Karena perubahan tidak dilakukan secara sitemik dan holistik, biasanya perubahan ini membutuhkan energi yang cukup besar dan tidak efektif.

  1. Perubahan terencana

Perubahan terencana adalah perubahan yang memang direncanakan. Anggota organisasi menyadari bahwa perlu adanya perubahan jika ingin survive dan memiliki daya saing yang tinggi. Perubahan terencana seperti ini biasanya dipersiapkan secara baik strateginya, siapa pelaku perubahan, dari mana memulai perubahan, kemana arah yang akan ditempuh, dan akan menjadi apa setelah terjadi peruahan. Oleh karena itu, pada perubahan ini akan dilakukan analisis lingkungan baik internal maupun eksternal, perubahannya menyeluruh, mulai dari perubahan paradigma, perubahan sistem, perubahan perilaku orang-orang dalam organisasi yang secara otomatis akan berpengaruh terhadap perubahan perilaku, nilai dan norma organisasi. Perubahan ini akan menghasilkan sesuatu yang bermakna bagi organisasi yang akan mampu meningkatkan daya saingnya, karena arah perubahan jelas dan direncanakan sesuai tuntutan zaman.

 

Tantangan pada Abad ke-21

   Gejolak perubahan yang cepat, mengakibatkan kesementaraan menjadi hakiki dari kegiatan organisasi di masa depan. Kegiatan pelayanan umat Tuhan menghadapi  berbagai kondisi paradoksal yang penuh ketidakpastian. Organisasi di seluruh dunia dirongrong faktor eksternal yang memaksa untuk berubah drastis. John P. Kotter mengutarakan empat penyebab utama yang memaksa organisasi berubah: (1) Perubahan teknologi, (2) Integrasi ekonomi internasional, (3) Kejenuhan pasar di negara maju, (4) Jatuhnya rezim komunis dan sosialis.

Kemudian Kotter (1996) menemukan bahwa inisiatif melakukan perubahan dengan berbagai upaya sistematik telah banyak dilakukan, namun kegagalan melakukan perubahan besar disebabkan antara lain: Membiarkan rasa puas diri yang berlebihan; Gagal membentuk tim pengarah perubahan yang kuat; Menganggap remeh kekuatan visi; Visi tidak dikomunikasikan dengan baik; Membiarkan rintangan menghadang pencapaian visi; Gagal mendapatkan kemenangan jangka pendek; Terlalu cepat menyatakan kemenangan akhir; Gagal melakukan perubahan ke dalam budaya organisasi.

Dunia telah berkembang menjadi sangat kompleks dan membingungkan, sehingga perlu terus memperbaharui diri dalam menghadapi perubahan, keanekaragaman kaleidoskopis yang tidak ada akhirnya. Meskipun untuk menjadi seorang pemimpin semakin sulit, namun hanya kepemimpinan yang kuat dan visioner yang dapat membuat organisasi bertahan hidup dan berkembang baik di era penuh tantangan ini. Tanpa adanya kepemimpinan visioner, organisasi akan seperti perahu penyelamat yang terombang-ambing di laut penuh gelombang tanpa dayung, tanpa penunjuk arah (kompas), tanpa peta dan tanpa harapan.

   Organisasi di abad ke-21 juga menekankan peran pemimpin visioner sebagai agen perubahan, mempromosikan eksperimentasi, menciptakan perubahan, dan menetapkan budaya organisasi yang di dalamnya terdapat keberanian mengambil risiko dan partisipasi yang luas dihargai. Semua ini untuk menonjolkan perlunya seleksi dan pengembangan kepemimpinan visioner yang baru, dengan perhatian besar dan merencanakan bebas peralihan kepemimpinan. Perlunya kepemimpinan visioner semakin dirasakan sehingga menimbulkan tantangan bagi semua.

Visi merupakan masa depan organisasi yang dipilih dari banyak kemungkinan, sehingga dapat ditemukan banyak kemungkinan skenario masa depan, namun banyak di antaranya  tidak diperlukan dan bahkan dari yang tampaknya bisa diterima ternyata banyak yang tidak praktis/ditolak dengan alasan tertentu. Dengan demikian, tugas pemimpin menemukan/merangsang orang lain guna menemukan visi alternatif sehingga dapat dipilih yang paling sesuai. Tidak seorang pun mampu memprediksi masa depan secara pasti, masa depan bersifat tidak pasti, dan akan semakin tinggi ketidak pastiannya. Ketidak pastian semakin besar, karena kompleksitas bidang yang diamati dan karena hasil yang didapat akan tergantung pada aktivitas manusia, sehingga akan selalu ada kejutan di masa depan.

Dengan mendapat peringatan dini melalui pandangan jauh ke depan, maka seseorang akan berada pada posisi yang lebih baik untuk membangun fleksibilitas dan kemampuan memberi respon cepat terhadap apa yang telah ditetapkan sebagai visi organisasi. Dengan demikian, tetap harus memikirkan lingkup kemungkinan masa depan sistemtatis, produktif tanpa berusaha memprediksi apa yang sebenarnya akan terjadi. Untuk mulai memikirkan masa depan, identifikasi semua kategori perkembangan ini antara lain meliputi perubahan lingkungan sosial, politik, dan teknologi.

Selanjutnya adalah meneliti setiap kategori secara bergantian dan mendaftarkan perubahan yang menguntungkan organisasi. Daftar ini akan membantu mengenai masa depan yang terdiri dari tiga bagian, yaitu: (1) Kesinambungan; (2) Perubahan dan; (3) Menentukan pilihan. Kesinambungan timbul dari kecenderungan semua lembaga dan serangkaian data untuk memiliki kelembaman dan momentum. Dalam memikirkan perkembangan masa depan, mungkin akan sangat membantu jika diketahui juga ramalan futuris profesional, yakni orang yang mempelajari kemungkinan  kecenderungan dan perkembangan di masa yang akan datang. Akhirnya, harus mengadakan pilihan dari berbagai alternatif.

Pilihan strategi yang kiranya perlu diupayakan oleh organisasi dalam menghadapi era globalisasi adalah :

  1. Peningkaan kualitas sumberdaya manusia melalui pendidikan, pemeliharaan kesehatan dan pemenuhan kebutuhan hidup baik jasmani maupun rohani umatnya dengan konsentrasi penuh untuk mewujudkan sosial equality. Kemampuan organisasi gereja untuk memfasilitasi perubahan sosial sangat ditentukan oleh kualitas sumberdaya manusia.
  2. Peningkatan kualitas pelayanan gereja, khususnya pelayanan kerohanian yang akan membawa penguatan dan pembaharuan iman percaya umatnya.
  3. Peningkatan kepekaan terhadap lingkungan hidup melalui peningkatan kepedulian terhadap perubahan lingkungan hidup sejalan dengan derap perubahan kehidupan dunia.

 

Tantangan Gereja Masa Kini

Krisis integritas dewasa ini menjadi masalah besar dalam dinamika kehidupan manusia menghadapi abad ke-21. Sangat sulit mencari orang yang saleh, benar, jujur, setia, tulus hati dan bertanggung jawab. Demikian juga sangat sulit mencari orang yang benar-benar punya komitmen terhadap nilai-nilai ideal-universal. Hal ini semakin menjadi-jadi, jika orang yang hendak dicari adalah pemimpin yang punya integritas dan komitmen. Di tengah sulitnya mencari orang yang berintegritas sekaligus berkomitmen, bukan berarti dua hal tersebut tidak dibutuhkan lagi. Justru muncul semacam paradoks, semakin sulit untuk dicari namun integritas dan komitmen semakin dibutuhkan.  Hal ini juga telah mengakibatkan terjadinya krisis kepemimpinan dalam gereja-gereja masa kini karena kepemimpinan gereja semakin kehilangan integritas,  yaitu; Ketulusan (Motivasi Yang Murni), Konsistensi (Menjalani Kehidupan Sebagai Suatu Keseluruan), Keandalan  (Mencerminkan Kesetiaan Allah).

Organisasi gereja akan berubah jika ada faktor-faktor pendorong ataupun pemicu perubahan, antara lain :

  1. Adanya zaman postmodern pada era baru yang memunculkan moralitas baru dengan standar pribadi, seperti LGBT, homoseksual dan poligami. Standar pribadi tersebut telah menjadi agama baru menggantikan kekristenan;
  2. Isu-isu radikalisme agama, seperti propaganda, terorisme dan berbagai gerakan dan tindakan ekstrim oleh sekelompok orang seolah-olah menyudutkan setiap gereja. Hal ini juga memunculkan gejala intoleransi dan fanatisme agama serta ekslusivisme yang berlebihan dalam hubungan sosial keagamaan di masyarakat;
  3. Maraknya berbagai ajaran sesat dan bidat yang memiliki aliran-aliran sesat, seperti Gnostik, Mormonisme, Christian Science, Saksi Yehova dan sebagainya. Hal ini bertentangan dengan peringatan Yesus terhadap murid-muridNya (Matius 24:3-14; 1 Timotius 1:3; Roma 16:17);
  4. Manusia yang semakin pandai dan hidup merasa seakan-akan tidak lagi membutuhkan Tuhan;
  5. Perpecahan gereja karena masalah uang, beda penafsiran, perbedaan kepentingan kelompok dan sebagainya (1 Korintus 3: 3);
  6. Manusia super sibuk dengan dunianya masing-masing;
  7. Berkembang pesatnya Ilmu dan Teknologi;
  8. Materialisme dan individualisme;
  9. Pendayagunaan dan pemberdayaan jemaat menghadapi tantangan jaman;
  10. Tidak adanya kepuasan dari anggota jemaat;
  11. Tidak ada kasih persaudaraan yang mempengaruhi persaingan individu bahkan antar bangsa.

Menurut Bill Hull dalam bukunya “The Diciple Making Pastor,” menyatakan umumnya keadaan gereja masa kini adalah sangat lemah, duniawi dan dangkal secara rohani dan anggota gereja dipengaruhi oleh nilai budaya kafir yang sedang bangkit (penggunaan ilmu hitam, jimat, ramal, tahyul, dll.). Selain itu, tanpa disadari, pikiran para angota gereja kebanyakan dipengaruhi oleh pikiran-pikiran: televisi, internet, google, facebook yang menyebarkan pornografi yang merangsang hawa nafsu seks. Menurut George Barna, seorang teolog dan peneliti masyarakat, hasil penelitiannya di kalangan 18.000 anak muda Kristen, hasilnya sangat menggelisahkan: 43 % hidup dalam seks bebas; 23%  berpandangan seks pranikah itu benar, bukanlah dosa; 39% menyetujui seks pranikah itu diterapkan; 55% menyatakan seks pranikah itu adalah sesuatu yang wajar. Gereja benar-benar sudah kehilangan orang-orang kudus.

Menurut Leith Aderson, gereja kurang tegas menolak nilai duniawi masuk dalam gereja dan pemimpin-pemimpin gereja tidak berani mengecam dosa: percabulan, mabuk, judi, zinah, pesta pora dan banyak gembala upahan sebagai pemimpin gereja dengan berkata: “Kita dibayar untuk berkotbah, untuk menyenangkan hatinya, bukan untuk mengecam pola hidup anggota persekutuan.” Selain itu, banyaknya warga gereja masih menerapkan pola hidup yang tidak mencerminkan kekristenan, yaitu; hidup tidak kudus, sombong, munafik. Menurut Bill Hull, gereja hadir di dunia ini harus:

(1) Memimpin tiap-tiap orang menuju kepada kesempurnaan Kristus (Kol. 1:28-29),

(2) Gereja harus menghasilkan orang-orang Kristen yang  Dewasa,

(3) Berhati Kristus (Fil 1:21),

(4) Berpikir dan berperasaan Kristus (Fil 2:5),

(5) Mampu bertumbuh dalam mengasihi Allah dan sesama,

(6) Mampu menghasilkan buah Roh dalam dirinya,

(7) Mampu mengaplikasikan Firman Tuhan dalam hidupnya sehari-hari,

(8) Mampu menjangkau orang yang belum percaya dibawa kepada Kristus.

Para Pemimpin gereja harus fokus dalam doa, puasa, dan pengajaran Firman, karena  gereja sudah berada pada masa yang sukar (2 Tim 3:1-9).  Jika segala sesuatu akan hancur secara demikian, betapa suci dan salehnya kita harus hidup! Akhirnya…Talitakum!” Bangunlah  Hai Gereja Indonesia (Mrk 5:41). Efata… Terbukalah telinga orang itu & terlepaslah pengikat lidahnya. Lalu ia  berkata-kata dengan baik (Mrk7:34).

 

Kesimpulan

   Gereja tengah bergumul dalam dunia yang penuh goncangan dan krisis, sehingga memerlukan pimpinan yang solid, yang kekuatannya bertumpu pada asas-asas kepemimpinan Alkitabiah. Pemimpin dalam era perubahan adalah seorang yang mampu menciptakan suatu lingkungan inovatif, tidak menghambat kreativitas seseorang dan potensi kekuatan kerja. Pemimpin perubahan memberi arah dan pandangan keluar demi kebutuhan jemaat. Peran seorang pemimpin gereja adalah membantu anggota organisasi dan pengikutnya untuk menciptakan lingkungan yang kondusif, kebanggaan dan loyalitas, bukanlah kekuatan dan intimidasi. Prinsip Kepemimpinan Alkitabiah sebagai kunci keberhasilan pemimpin gereja, antara lain:

Pertama, Dipanggil dan ditetapkan oleh Allah: Para pemimpin gereja adalah pengabdian memenuhi panggilan, karena itu pemimpin gereja bukanlah suatu profesi, tetapi panggilan pelayanan. Dalam gereja Tuhan di Perjanjian Baru, Yesus Kristus adalah Kepala Gereja — Gereja atau Jemaat adalah Tubuh Kristus (Efesus 1:22-23).

Kedua, Pemimpin harus diurapi Roh Kudus: diurapi dengan Roh Kudus dan Kuasa, bukan sekedar pengalaman kepenuhan Roh Kudus dengan tanda bahasa roh, melainkan juga pengurapan khusus untuk misi atau tugas khusus, seperti Yesus (Kisah 10:38, Matius 3:16-17). Roh Kudus mengaruniakan kuasa dan kesanggupan (dinamis Kisah 1:8) kepemimpinan, baik kemampuan intelektual maupun spiritual.

Ketiga, Pemimpin harus menjadi teladan: seorang pemimpin gereja wajib menjadi teladan atau contoh (Ibrani 13:7, I Timotius 1:16, 4:12, I Petrus 5:3). Banyak pemimpin adalah ahli – dan seharusnya demikian. Juga banyak yang pandai bicara – dan itu juga satu talenta yang baik. Namun, lebih penting, bahwa ia dapat menjadi contoh dalam semua hal yang diajarkannya.

Keempat, Pemimpin harus memiliki standar moral dan karakter: di zaman sekarang, terasa sekali betapa sulitnya hidup kudus. tidak luput menghadang para pemimpin rohani. Tetapi pegangan kita tidak boleh bergeming: “Hendaklah kamu menjadi kudus di dalam seluruh hidupmu seperti Dia yang kudus, yang telah memanggil kamu”. (II Petrus 1:15). Pemimpin yang dipanggil oleh Tuhan harus memiliki hidup kudus, dan jangan terkena pencemaran karena godaan uang, pergaulan, kehidupan enak, kedudukan, kehormatan,  membenarkan dusta, dll (Roma 12:1,2, I Korintus 6:19-20, I Petrus 2:6, 2 Korintus 6:12-16).

Kelima, Pemimpin harus memiliki Visi: Para pemimpin gereja pada zaman “paling akhir”,  yang ingin menjadi mitra Tuhan dalam pembentukan tubuh Kristus, dalam penginjilan Global, harus merupakan pemimpin-pemimpin visioner. Abad 21 yang disebut era globalisasi, para pemimpin dunia dianjurkan memiliki visi global. Bila tidak, menjadi liarlah umatnya (Amsal 29:18).

Keenam; Pemimpin harus memiliki pengetahuan dan rajin belajar: Perkembangan dunia dalam bidang Iptek maju secara mencengangkan. Perubahan-perubahan dahsyat terjadi karena revolusi Iptek. Pemimpin rohani harus mengantisipasi hal ini, karena banyak teologi sudah rancu karena pengaruh filsafat manusia. Seorang pemimpin harus memiliki kemampuan intelektual (Amsal 27:17, Pengkhotbah 10:10).

Ketujuh, Pemimpin adalah Pelayan: pemimpin adalah Pelayan (Lukas 22:26), dan Yesus, pemimpin agung kita berfungsi sebagai pelayan (Lukas 22:27). Kepemimpinan gereja adalah pengorbanan. Model kepemimpinan kita adalah Yesus Kristus. Para pemimpin harus bergantung total kepada Tuhan, bukan kepada manusia, kekuatan uang, ekonomi, politik, atau sikon.

Kedelapan, Pekerja keras, rajin berdoa dan berprestasi baik: Para pemimpin harus merupakan sosok yang rajin berdoa, rajin melayani, rajin mengajar Firman dan bekerja sekerasnya untuk pertumbuhan gereja dan penyebaran Injil. Pemimpin gereja harus berprestasi baik, barulah beroleh kedudukan yang baik (I Timotius 3:13).

Kesembilan, Pemimpin adalah komunikator: Salah satu kelemahan para pemimpin gereja yang dapat menghambat keberhasilan pelayanannya adalah kekurangmampuan untuk berkomunikasi. Komunikasi merupakan unsur penting dalam kepemimpinan. Pernyataan Rasul Paulus: “Sama seperti aku juga berusaha menyenangkan hati semua orang dalam segala hal….” (I Korintus 10:33); menunjukkan kemampuannya yang besar sekali dalam berkomunikasi.

Kesepuluh, Pemimpin harus Siap menghadapi tantangan dan menghadapi konflik: seorang pemimpin rohani harus memiliki kemampuan memanfaatkan peluang-peluang yang ada, dan siap menghadapi tantangan-tantangan yang menghadang. Para pemimpin gereja di zaman modern ini harus memiliki risiko tantangan-tantangan yang canggih pula.

 

St. Jarismen Purba, MPd

Penulis: Anggota Majelis Jemaat GKPS Cililitan, Jakarta