Credit: Photo by Frederick Medina from Pexels via www.pexels.com

I. PENDAHULUAN
“Selamat berbahagia” adalah salah satu ucapan atau kata-kata yang sering kita sampaikan kepada pasangan yang baru memasuki kehidupan pernikahan, bahkan sering ditambahi dengan kata-kata “semoga berbahagia sampai kakek nenek”. Di dalam ucapan itu terkandung atau tersampaikanlah harapan dari para keluarga, kerabat, sahabat atau para kolega yang sedang merayakan pernikahan atau perkawinan itu bahwa kebahagiaan pasangan atau keluarga yang baru menerima pemberkatan perkawinan itu akan tercapai ketika mereka mempunyai keturunan, bahkan sampai menjadi kakek dan nenek artinya punya anak dan cucu, artinya punya keturunan. Karena memang dalam pandangan umum, ketika sepasang anak manusia memutuskan untuk membentuk satu rumah tangga melalui pernikahan, maka salah satu tujuannya adalah untuk memiliki keturunan yaitu anak-anak yang diberikan Tuhan kepada mereka.
Perintah Allah dalam Kej.1:28: “..lalu Allah berfirman kepada mereka: “Beranakcuculah dan bertambah banyak;…..” diterima sebagai satu berkat yang istimewa yang harus dimiliki setiap pasangan yang terberkati. karena itu mempunyai keturunan menjadi impian dan cita-cita setiap rumah tangga. Bahkan bukan hanya pasangan yang akan menikah atau sudah menikah namun juga seluruh keluarga besar dan kerabat menginginkan dan mendoakan supaya mereka segera diberi keturunan. Bahkan sebelum pernikahan itu sendiri dilaksanakan, keinginan dan harapan tentang memiliki keturunan itu sudah di bicarakan, sudah direncanakan.
Hal di atas sekali lagi hendak menggambarkan betapa semua orang, setiap pasangan mendambakan memiliki anak di dalam rumah tangganya. Tetapi apakah semua pasangan yang menikah akan mempunyai anak? Kalau mereka belum memiliki keturunan apakah mereka tidak mendapatkan kebahagiaan dan kehormatan? Kalau pasangan menikah belum mempunyai anak apa yang harus mereka lakukan?

II. PERKAWINAN KRISTEN
Perkawinan bagi orang Kristen ialah hidup bersama antara laki-laki dan perempuan dalam satu ikatan perjanjian kudus seumur hidup yang bersifat monogamis. Perkawinan memiliki makna sebagai persekutuan hidup, di mana dua orang yang berbeda, memutuskan untuk hidup bersama dan menempatkan dirinya sebagai partner yang sepadan satu dengan yang lain, saling menghargai dan melengkapi.
Tuhan Allah sendirilah yang menetapkan perkawinan berdasarkan Firman-Nya dalam teks kitab Kej. 2:18,24. “….Tidak baik, kalau manusia itu seorang diri saja. Aku akan menjadikan penolong baginya, yang sepadan dengan dia”… Lalu berkatalah manusia itu: “Inilah dia, tulang dari tulangku dan daging dari dagingku. Ia akan dinamai perempuan, sebab ia diambil dari laki-laki. Sebab itu seorang laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya menjadi satu daging.” Allah menghendaki supaya laki-laki dan perempuan, yang diciptakan segambar dengan-Nya, hidup sebagai suami dan istri karena tidak baik kalau manusia itu seorang diri saja. Keduanya adalah gambar Allah yang setara.
Dalam perkawinan laki-laki dan perempuan membangun relasi sebagai suami isteri. Relasi yang ikut menentukan arah dan sasaran yang akan dicapai keluarga itu.
Relasi dalam perkawinan:
Kelembagaan (Institutional)
Perkawinan kelembagaan yakni perkawinan yang menekankan bahwa laki-laki sebagai kepala keluarga, satu-satunya pencari nafkah, pengambil keputusan akhir dan perempuan hanya sebagai ibu rumah tangga, yang menikah karena tradisi, tanpa cinta, seringkali tanpa pendekatan dan karena orang lain atau aturan yang ada (seperti keluarga atau suku).
Kemitraan (Partnership)
Kemitraan (Partnership) adalah perkawinan atas dasar pilihan dan saling cinta dalam suatu hubungan yang mesra, berdasarkan nilai-nilai internal seperti kepribadian masing-masing dan bukan hal yang bersifat lahiriah. Kemitraan juga lebih menekankan kebahagiaan pribadi daripada menjalankan peran dan tugas. Konflik diselesaikan dengan negosiasi daripada akomodasi, pengambilan keputusan dilakukan secara bersama bukan sepihak.
Dalam perkawinan kemitraan keduanya adalah setara. Kemitraan dalam pernikahan bisa saling memperkuat dan melengkapi dibidang pengertian dan keterampilan yang berbeda-beda, saling menghargai dan menghormati antara satu dengan yang lain.

III. PERKAWINAN DAN KETURUNAN
Dasar pernikahan tidak terpisah dengan tujuan pernikahan itu sendiri yaitu membangun kehidupan bersama yang saling menolong, saling melengkapi, saling menguatkan dan berbagi. Sedangkan berkat mempunyai keturunan sebagaimana disebutkan dalam Kej. 1:28 adalah dalam rangka menjaga kelangsungan hidup ciptaan Tuhan Allah dengan menyelenggarakan pengelolaan, pemeliharaan dan penatalayanan atas segala ciptaan, dan hal itu dimungkinkan terjadi dengan bertambahnya manusia (prokreasi).
Konteksnya sangat jelas bahwa pertambahan manusia sangat penting karena tenaga manusia sangat diperlukan untuk bertani, berburu atau berperang, maka melahirkan banyak anak menjadi sangat penting dan bermanfaat. Akibatnya adalah kondisi tidak mempunyai keturunan atau tidak mampu melahirkan anak dianggap sebagai sesuatu yang rendah dan aib bahkan dianggap sebagai hukuman Tuhan.
Dalam rangka menjaga kelangsungan hidup maka memiliki banyak keturunan adalah sebuah kehormatan juga kemuliaan dan harapan itu diungkapkan oleh semua orang yang hadir pada sebuah perayaan pernikahan, yang mengharapkan supaya keluarga yang baru itu diberkati dengan keturunan untuk melanjutkan garis keturunan serta menjaga warisan khususnya harta peninggalan para leluhur mereka. Dengan demikian semakin menguatkan bahwa salah satu tujuan perkawinan adalah prokreasi atau meneruskan keturunan.
Demikian juga secara adat budaya, harapan yang sama akan memiliki keturunan disampaikan melalui peribahasa (umpasa/umpama) misalnya: tubu ma laklak dohot singkoru i dolok purba tua, tubu ma anak dohot boru aido arta na maharga. Atau seperti ungkapan dalam syair lagu ciptaan Nahum Situmorang yang berjudul Anakkonhi do hasangapon di au, yang mengatakan “anakkonhi do na ummarga di au, anakkonhi do hasangapon di au, dan anakkonhi do hamoraon di au” (Anakku adalah yang paling berharga bagiku, anakkulah kehormatanku dan anakkulah kekayaanku).
Ada penekanan bahwa memiliki putra dan putri adalah sangat penting karena itu adalah harta yang paling berharga dan mulia. Gambaran ini menunjukkan seolah-olah tujuan pernikahan yang utama adalah memiliki anak. Keluarga yang bahagia dan terberkati adalah pasangan yang mempunyai anak khususnya anak kandung. Kelahiran anak dipandang sebagai karunia dan mahkota cinta suami isteri. Namun setelah pernikahan 3, 8, 10, 20 tahun atau lebih belum juga dikaruniai kehadiran anak, maka banyak pasangan yang merasa hampa dan belum sempurna menjadi sebuah keluarga. Mereka bergumul dan tertekan baik secara spiritual, psikologis, seksual, dan sosial.
– Secara spiritual: merasa menjadi keluarga yang tidak terberkati, merasa bersalah dan sedang dihukum atau kutuk dari Tuhan karena dosa dosanya.
– Secara psikologis: sedih, inferior, tertekan, gelisah, malu dan mungkin saja akan saling menyalahkan, terutama bagi pasangan yang sudah berulang kali mengusakannya, yang bisa mengakibatkan stres dan konflik yang berujung pada perpisahan atau perceraian.
– Secara seksual: merasa hampa tidak berguna dan keintiman semakin berkurang. Perkawinan yang fokusnya melulu soal melanjutkan keturunan (prokreasi) akan menjadi pernikahan yang berat sebelah dan rapuh. Seks sebagai sarana prokreasi juga akan menjadi terasa hambar dan kosong. Sebab seks adalah ekspresi rasa cinta antara dua pribadi yang dipersatukan Tuhan. Seks akan menjadi indah dan bernilai kalau dilandasi dengan keintiman yang tercipta oleh nilai persahabataan dan kemitraan.
– Secara sosial budaya: merasa terasing, ditolak, terhina karena mereka belum/tidak punya keturunan yang akan melanjutkan garis keturunan atau marga di tengah tengah masyarakat. Khususnya di tengah-tengah budaya patriakh, belum/ tidak punya keturunan terutama laki-laki akan sangat memengaruhi status, kedudukan dan martabatnya di tengah-tengah masyarakat, yang selalu mempertanyakan kondisi nya membuatnya merasa terasing atau diasingkan.

IV. PERKAWINAN YANG BELUM (TIDAK) PUNYA KETURUNAN
Memang sulit untuk menyimpulkan pergumulan yang dialami pasangan suami isteri (pasutri) yang belum/tidak punya anak, untuk dapat memberikan pendampingan secara pastoral kepada mereka, karena pengalaman dan proses yang sangat bervariasi yang memberikan dampak yang berbeda. Misalnya bagi satu pasutri usia perkawinan 3 tahun belum punya anak sudah menjadi pergumulan berat tetapi bagi pasangan dengan usia perkawinan 5 tahun belum punya anak, mereka masih bisa lebih santai dengan tetap berharap dan berusaha. Namun demikian menurut pengalaman beberapa pasutri dan ahli kesehatan mengatakan, sewajarnya usia perkawinan 2 tahun sudah memiliki keturunan. Dan ketika itu tidak terjadi maka dampak yang terjadi kepada pasutri setelah mengalami hal tersebut adalah terutama yang sudah berkonsultasi dengan ahli kesehatan biasanya adalah: Berharap dan tetap berusaha. Biasanya segala upaya akan ditempuh oleh pasutri sedaya mampu yang masih bisa dilakukan, baik secara medis maupun therapy alternatif lainnya. Tetapi juga ada dampak yang sama sebagaimana dikatakan Elisabeh Kubler Ross yaitu:
o Penolakan: biasanya setelah mendengar hasil diagnosa dokter tidak seperti yang diharapkan. Tidak percaya, tidak menerima lalu memutuskan tidak mau lagi berharap atau masih tetap mencari cara yang lain.
o Tawar menawar: merasa tidak harus menerima situasi itu dan berharap masih ada solusi yang lain. Tawar menawar ini bukan hanya pada dirinya sendiri tapi juga kepada Tuhan. Tapi kadang-kadang disinilah seseorang bisa terlibat dengan okultisme.
o Marah: ketika menyadari bahwa harapannya tidak dapat terwujud maka kemarahan dapat ditunjukkan dengan berbagai cara misalnya menyalahkan pasangan, menyalahkan Tuhan, meninggalkan pasangan atau melakukan tindakan-tindakan yang menyakiti diri sendiri atau orang lain.
o Depresi: ketika segala usaha sudah dilakukan namun tidak berhasil maka kesedihan, kekecewaan, dapat menyebabkan depresi sebelum memutuskan apa yang harus dilakukan misalnya apakah adopsi, apakah menerima hidup berdua saja tanpa anak atau memiliki anak asuh atau alternatif lainnya.
o Penerimaan: tidak bisa tidak usia seorang perempuan untuk dapat memiliki keturunan itu terbatas maka suka atau tidak suka kenyataan itu harus diterima. Bahwa ada batasan untuk punya keturunan dari diri sendiri namun terbuka kesempatan memiliki keturunan dengan cara yang lain. Kemauan untuk menerima hal yang tidak bisa diubah dan terbuka untuk hal yang masih bisa dilakukan akan membawa pasangan suami isteri kepada kebahagiaan yang sejati. Dan ketika hal itu terjadi maka pasangan yang tidak/belum dikaruniai keturunan dapat kembali kepada pondasi pernikahan itu sendiri yaitu:
 Iman: atau relasi dengan Tuhan. Iman meneguhkan pengharapan di tengah-tengah segala harapan dan cita-cita yanag belum terwujud atau tercapai. Berdiri diantara harapan dan kenyataan yang menimbulkan keraguan dan ketidakpastian maka berpegang dan berpenghrapan kepada kasih setia Tuhan menjadikan pasangan dapat menjalani pernikahan dengan lebih yakin. Dengan iman memungkinkan pasangan melihat selalu ada karya Tuhan dalam setiap peristiwa kehidupan dan pasautri tetap mampu melangkah dengan tegap dan teguh.
 Cinta kasih: sebagai ekspresi relasi dengan pasangan yang memberi energi sekaligus menyempurnakan segala kekuaranga dan kelemahan yang ada.
 Komitmen: untuk menjalani hidup perkawinan saling mengasihi, menghargai, mengingatkan, mendoakan sampai maut memisahkan. Sehingga perkawinan tetap menjadi anugerah yang membahagiakan, sumber sukacita dan ucapan syukur.
Andar Ismail dalam bukunya “Selamat Ribut Rukun” mengatakan “Mendapat anak adalah berkat, tetapi sebaliknya tidak mendapat anak pun adalah berkat dari Tuhan”. Untuk menerima dan meyakini pendapat atau pandangan seperti ini memang sangat sulit. Tetapi dengan melihat dari beberapa tokoh Alkitab seperti Zakaria dan Elisabeth sebelum mendapatkan Yohanes misalnya, dapat sangat menolong pasangan tanpa anak untuk memahami situasi seperti itu. Bahwa meski belum atau tanpa kehadiran seorang anak, namun tetap percaya bahwa Allah akan memberikan sukacita dan kebahagiaan dalam kehidupan perkawinan mereka. Perkawinan yang belum memiliki anak/tanpa anak bukan berarti tidak ada kebahagiaaan, belum/tidak mempunyai anak bukanlah akhir dari segalanya tetapi banyak hal yang bisa dilakukan supaya tetap bisa menjadi keluarga berbahagia.
Seperti yang dikatakan oleh Gunawan Sri Haryono dalam artikelnya “Rahasia hidup bahagia meski belum/tanpa anak” ada beberapa hal yang bisa dilakukan oleh pasangan yang tidak mempunyai anak yaitu :
1. Mencari dan memahami maksud Allah yang belum/ tidak memberikan keturunan kepada mereka. Tuhan tidak pernah mengizinkan sesuatu terjadi tanpa rancangan dan maksud yang jelas. Sebagaimana tujuan utama perkawinan bukanlah untuk memiliki anak melainkan kesatuan relasi antara suami dan isteri maka perkawinan dimungkinkan lama mendapatkan anak/ tidak memiliki anak dan bukan berarti bahwa perkawinannya gagal. Tetapi ada tujuan Tuhan yang lebih khusus yang ingin dicapai dan diwujudnyatakan melalui perkawinan itu. Maka hal ini bisa dilakukan oleh suami isteri sampai mereka menemukannya dan mewujudkannya bersama Tuhan.
2. Berkarya dan fokus pada pekerjaaan atau pelayanan-pelayanan sosial di tengah-tengah masyarakat. Perkawinan yang belum diaruniai/ tanpa anak memampukan pasangan untuk tugas yang lebih besar dan mulia. Ketika Tuhan mengizinkan sepasang suami istri belum/tidak memiliki anak adalah agar hidupnya menghasilkan buah yang lebih banyak bagi Dia. Tuhan menugaskan mereka untuk berkarya secara lebih fokus, lebih luas dan besar pada pekerjaan-pekerjaaan sosial seperti menggerakkan organisasi-organisasi sosial dan melakukan proyek pembinaan karakter, pendampingan bagi kaum-kaum termarginalkan, atau pendampingan bagi korban ketidakadilan, para difabel, anak-anak terlantar dan pemeliharaan lingkungan hidup.
3. Mempersiapkan hari tua dengan lebih baik, seperti berusaha menjaga pola hidup sehat, mempersiapkan keuangan untuk hari tua yang akan tinggal bersama keluarga atau orang lain atau di panti jompo dan lainnya.
Intinya ialah belum/ tidak memiliki anak bukan berarti dunia runtuh dan masa depan hilang, tetapi masih banyak alternatif yang dapat dilakukan untuk melanjutkan hidup bahagia bersama pasangan atau keluarga.
Kembali pada perkawinan kemitraan sebagaimana disebutkan sebelumnya, tujuan pernikahan bukan hanya untuk memperoleh keturunan tetapi bagaimana membangun sebuah relasi yang baru dalam cinta kasih Tuhan. Pada zaman sekarang perempuan dan laki-laki dapat menunjukkan eksistensinya melalui berbagai karya dan prestasi termasuk melalui pelayanan-pelayanan sosial di tengah-tengah masyarakat dan gereja.
Pasangan yang belum memiliki/tanpa anak dapat menemukan kebahagiaan dan menjadi keluarga bahagia serta membawa kebahagiaan kepada dunia sekitarnya dengan banyak cara yang positif dan berbeda. Saat ini banyak pasangan yang melakukan adopsi lebih kepada tujuan yang lebih luas seperti menolong anak-anak yang terlantar karena tidak punya orang tua dan atau mempunyai orang tua tetapi tidak mampu membesarkan serta mencukupi kebutuhan hidupnya. Sehingga dapat dikatakan banyak praktek adopsi sekarang dilatarbelakangi prinsip-prinsip sosial, ekonomi ataupun spiritualitas, walau tetap ada juga karena faktor psikologi. Jikalau pasangan yang belum memiliki/tanpa anak ingin mengadopsi seorang anak atau lebih maka suami-isteri tentu harus memutuskannya secara bersama-sama. Jika perkawinan belum bisa menjadi sarana prokreasi maka jadikanlah dia sebagai rekreasi yang membawa sukacita, kesenangan, penyegaran sikap dan mental yang dapat memulihkan kekuatan jiwa maupun raga.

V. PENUTUP
Sama seperti pernikahan Kristen itu bukan hanya urusan duniawi melainkan misteri ilahi, maka demikian juga mendapatkan atau memiliki anak juga adalah bagian dari rahasia kuasa Tuhan. Kebahagiaan rumah tangga bukan terletak pada memiliki atau tidak memiliki keturunan saja tetapi bagaimana menjaga komitmen dan kebersamaan hidup ditempatkan secara tepat diatas tujuan-tujuan lainnya maka pernikahan yang bahagia dapat dicapai.

Penulis: Pdt. Julinda Sipayung, M.Si
Koordinator Sopou Damei GKPS

Daftar bacaan :
Alkitab TB LAI: 2011
Dr. David Stoop & Dr.Jan Stoop, A to Z Pranikah, Andi Offset Yogyakarta, 2009
Dr. Roland de Vaux, Ancient Israel Social Institutions, McGraw-Hill Book Company-New York, 1985.
Perundangan tentang Anak, Pustaka Yustisia, 2010
UU RI No.23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah tangga, Kementerian negara Pemberdayaan Perempuan RI , 2008.
WCC Sopou Damei GKPS, Mampukah aku bertahan, Saridos Printing, 2012. kehidupan,Penerbit Erlangga, 2002.
Dr, Andar Ismail, Selamat Ribut Rukun, BPK Gunung Mulia, 2002.
Pdt.Drs,Radesman Sitanggang, Insan berbudaya-suatu studi dikalangan komunitas etnik Toba, Sekolah Tinggi Diakones HKBP, 2016.
Pdt. Prof Dr.Mesach Krisetya, Konseling Pernikahan & Keluarga, UKsw Salatiga, 2008
Http:///www. Telaga.org.tegur sapa gembala- keinginan mempunayi anak, 2017
Http:///www. Telaga.org.tegur sapa gembala-suami isteri tidak mempunyai anak. 2017
Https://Kesehatan.Kompasiana.comGunawan Sri Haryono, Suami Isteri yang tidak mempunyai anak, 2012.