PENDAHULUAN
King dan Qin sudah hidup berumah tangga hampir 10 tahun. Selama 10 tahun usia perkawinan Qin selalu berusaha menjadi isteri yang baik, ramah, rajin juga setia dan menyayangi suami dan anak-anaknya sebanyak cinta dan sayang yang ada di dalam hatinya. Tetapi itu saja tidak cukup sebab pada tahun pertama perkawinan mereka, King sudah melakukan kekerasan terhadap Qin.
Hanya karena terlambat pulang dari rumah orang tuanya yang tidak terlalu jauh dari rumah mereka, King marah-marah, membentak dan bahkan melemparkan piring kepada Qin. Qin merasa bahwa itu memang salahnya dan minta maaf pada suaminya. Tetapi pada hari lain suaminya pulang larut malam dan Qin agak lama membuka pintu karena tidak mendengar pintu di ketuk dari luar malah langsung ditampar dan didorong sampai terjatuh. Seolah-olah lupa dan tanpa rasa bersalah King melupakan hal itu, tidak ada klarifikasi dan minta maaf, berlalu begitu saja.
Saat Qin mengandung anak pertama mereka malah dia ditendang karena makanan yang katanya tidak ada rasa. Waktu itu karena menjaga keselamatan bayinya dan kesehatannya, Qin pulang ke rumah orang tuanya sampai melahirkan. Setelah anaknya lahir dia pulang ke rumah mereka, tetapi malahan kekerasan yang dilakukan suaminya menjadi-jadi. Sering bicara kasar, merusak barang-barang dalam rumah, bahkan pernah Qin dikunci di kamar tidak bisa kemana-mana, anaknya menangis terus sampai tetangga datang dan membuka pintu yang dikunci sedangkan suaminya sudah pergi entah kemana. Suaminya jarang mau diajak ke ladang. Tapi selalu minta uang. Kata para tetangga suaminya main judi. Qin sudah tidak mau tahu lagi. Terakhir suaminya pulang dalam keadaan mabuk, lalu entah kenapa langsung marah-marah dan Qin pun menjawab dengan kesal sehingga terjadilah perang mulut, saat itu anaknya ditendang dan mau dipukul. Saat itulah Qin tersadar kalau dia masih tetap bersama suaminya, maka dia dan anaknya bisa mati konyol. Malam itu juga dia pergi ke rumah kakaknya. Dan setelah beberapa hari menenangkan diri dia akhirnya mengajukan gugatan cerai dan setelah melewati beberapa kali proses akhirnya dikabulkan oleh Pengadilan.
Berbeda dengan Qin, Ayu adalah seorang isteri yang sudah mengalami semua bentuk kekerasan dalam rumah tangga baik itu kekerasan pisik, psikis, ekonomi dan seksual. Bahkan dia sudah ditinggalkan oleh suaminya, dan tidak tahu entah dimana. Tetapi sampai sekarang dia masih tetap bertahan mengatakan tidak akan mau bercerai dengan alasan “apa yang dipersatukan oleh Allah tidak boleh diceraikan oleh manusia”. Sehingga walaupun sekarang statusnya adalah “sirang so sirang” dalam arti sudah berpisah bahkan bertahun tahun, dia tetap tidak menceraikan suaminya. Bahkan anak-anak juga sudah mengatakan supaya dia berpisah saja dari suaminya yang juga bapak dari anak-anaknya. Anak-anaknya lebih memilih ibunya bercerai dari ayahnya karena mereka melihat, mendengar dan menyaksikan bagaimana ibunya menderita menjadi korban kekerasan yang dilakukan ayahnya. Namun Ayu berkata dia akan bertahan demi iman yang dipegangnya.
Kedua kasus ini hanya contoh dari yang terjadi di tengah-tengah jemaat kita yang semakin hari kelihatannya semakin bertambah. Tentunya kasus-kasus seperti ini dan banyak lainnya membutuhkan perspektif dan paradigma yang baru supaya gereja semakin membuka mata untuk melihat masalah dan pergumulan-pergumulan para pasangan suami-istri (pasutri) seperti ini di tengah-tengah kita dan menemukan solusi yang lebih baik selain menyuruh untuk bertahan tanpa mendengarkan masalah dan keinginan mereka.
Perceraian bisa terjadi karena berbagai alasan seperti perselingkuhan, pertengkaran yang terus menerus, salah satu pihak meninggalkan pasangan dan masalah ekonomi atau KDRT.
KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA (KDRT)
Tidak ada satu orang pun di dunia ini yang mau dan rela menjadi korban kekerasan apalagi kekerasan dalam rumah tangga, karena rumah tangga atau keluarga pada dasarnya adalah tempat terbaik dimana setiap orang mendapatkan kasih sayang dan perhatian yang tulus diantara sesama anggota rumah tangga. Tetapi fakta di lapangan menunjukkan bahwa tingkat kekerasan dalam rumah tangga dan kekerasan terhadap perempuan semakin meningkat. KDRT atau kekerasan yang dialami perempuan khususnya merupakan masalah kemanusiaan yang membutuhkan perhatian dan kepedulian yang harus diminimalisir atau dihentikan. Untuk itu pemerintah Indonesia telah menetapkan UU KDRT No. 23 tahun 2004 tentang penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga.
Dalam pasal 1 UUPKDRT poin 1 diterangkan yang dimaksud dengan KDRT adalah: setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga. Di samping itu, UUPKDRT juga menegaskan bahwa KDRT adalah tindakan pelanggaran hukum pidana, dimana korbannya harus dilindungi dan pelakunya dapat diproses secara hukum.
Lingkup Rumah Tangga yang dimaksud dalam UUPKDRT yaitu
- Suami, isteri dan anak (termasuk anak angkat, anak sambung atau anak tiri)
- Orang yang punya hubungan keluarga dengan nomor 1 karena hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan dan perwalian, yang menetap dalam rumah (mertua,menantu, ipar dan besan).
- Pembantu rumah tangga yang menetap atau tinggal bersama dalaam rumah tangga.
Hal lainnya yang diterangkan pada UUPKDRT ini adalah bentuk-bentuk KDRT yang meliputi:
- Kekerasan fisik adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit dan luka berta bahkan mati (Psl. 6).
- Kekerasan Psikis adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau penderitaan psikis berat pada seseorang (Psl. 7).
- Kekerasan Seksual maksudnya setiap perbuatan yang berupa pemaksaan hubungan seksual, pemaksaan hubungan seksual dengan cara tidak wajar, dan/atau tidak disukai, pemaksaan hubungan seksual dengan orang lain untuk tujuan komersial dan /atau tujuan tertentu (P 8).
- Penelantaran rumah tangga, yakni menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangga padahal menurut hukum ia wajib untuk memberi nafkah menunjang kehidupan, perawatan atau perlindungan bagi orang tersebut. Penelantaran juga termasuk pengabaian kewajiban ekonomi, dengan cara membatasi dana atau melarang untuk bekerja di dalam atau di luar rumah, sehingga korban di bawah kendali orang tersebut (Psl. 9)
Oleh karena itu semua tindakan yang terjadi dalam rumah tangga, yang sengaja maupun tidak dengan perbuatan seperti disebutkan di atas dikategorikan sebagai KDRT. Bahkan secara khusus yang berkaitan dengan perbuatan terhadap perempuan dianggap sebagai kekerasan terhadap perempuan.
Berkaitan dengan itu maka ditentukan apa yang disebut sebagai kekerasan terhadap isteri:
- Kekerasan fisik: misalnya suami menampar, memukul, menendang, mencekik, melukai, membakar, menyulut dengan rokok, dan membunuh isteri.
- Kekerasan psikis/psikologis: misalnya melukai perasaannya dengan menghina, memaki, membully, meremehkan atau menghianati isteri/ berselingkuh.
- Kekerasan seksual: misalnya dengan memaksa isteri berhubungan badan pada saat isteri sakit, menstruasi, lelah, dan lainnya. Suami memaksa melakukan hubungan intim dengan cara yang tidak disukai isteri. Suami tidak memenuhi kebutuhan seksual isteri, memaksa isteri melacur atau memaksanya berhubungan seksual dengan orang lain.
- Kekerasan ekonomi misalnya: saat suami mengontrol keuangan isteri, memaksa atau melarang isteri bekerja untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
UUPKDRT juga menekankan kewajiban setiap orang terkait KDRT: bahwa setiap orang yang mendengar, melihat, atau mengetahui terjadinya kekerasan dalam rumah tangga wajib melakukan upaya-upaya sesuai dengan batas kemampuannya untuk:
- Mencegah terjadinya tindak pidana
- Memberikan perlindungan terhadap korban
- Memberikan pertolongan darurat
- Membantu proses pengajuan permohonan penetapan perlindungan.
Dengan kata lain setiap orang wajib mencegah terjadinya KDRT dengan menolong atau melindungi korban, serta membantu proses penegakan hukum.
SIKAP PADA PERCERAIAN
Ketika seseorang memutuskan untuk menikah/berkeluarga maka dapat dipastikan bahwa harapannya adalah pernikahan itu akan berlangsung seumur hidup, mengalami kebahagiaan dan tanpa perceraian kecuali dipisahkan atau diceraikan oleh maut dan kematian. Namun sering kali karena persoalan yang timbul dalam perjalanan sebuah rumah tangga dan tidak mampu diselesaikan maka timbullah keinginan untuk bercerai dan bahkan memutuskan untuk bercerai.
Perceraian terjadi dengan berbagai alasan tetapi ada beberapa alasan yang sangat tinggi yaitu: perselisihan, pertengkaran yang terus menerus, salah satu pihak meninggalkan pasangan, masalah ekonomi dan KDRT.
Sebagai informasi menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2021 tercatat 447.743 pasangan. Jumlah tersebut meningkat drastis dari tahun sebelumnya tahun 2020 yaitu 291.677 kasus. Meningkat dari tahun 2015 yaitu berjumlah 347.256 kasus perceraian.
Data-data itu menunjukkan bahwa perceraian terjadi hampir pada semua pemeluk agama yang beragam di Indonesia, termasuk di dalamnya agama Kristen. Meskipun gereja tidak pernah menyetujui perceraian tetapi pasangan suami isteri yang beragama Kristen biasanya menjalankan proses perceraian secara hukum, setelah itu sebagian meyampaikan kepada gereja dan sebagian tidak. Sikap yang seolah-olah menutupi fakta perceraian itu sendiri dapat dimaklumi karena perceraian di kalangan Kristen atau gereja masih ditolak atau dilarang. Fenomena seperti itu menimbulkan sikap pro dan kontra. Namun salah satu hasil penelitian yang dilakukan oleh Fakultas Teologi Universitas Kristen Duta Wacana yang telah dipublikasikan dalam buku “Perceraian dan Kehidupan Menggereja” dapat menolong kita untuk melihat dan memahami perceraian di tengah-tengah kehidupan warga gereja saat ini.
PERCERAIAN ADALAH DOSA
Firman Tuhan di dalam Mat.19:6 “Demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan satu. Karena itu, apa yang telah dipersatukan oleh Allah, tidak boleh diceraikan manusia”. Memberikan pemahaman bagi orang Kristen untuk menyatakan bahwa pernikahan adalah inisiatif dari Allah sedangkan perceraian adalah inisiatif manusia, yang menghancurkan karya Allah, oleh karena itu perceraian harus ditolak. Sehingga kalau ada pasangan yang melakukan perceraian mereka dianggap melanggar Firman Tuhan dan berdosa, lalu dikenakan siasat gerejawi, digembalakan atau dikeluarkan dari keanggotaannya sebagai warga gereja. Dengan pemahaman yang seperti itulah maka wajar kalau hampir semua warga gereja, para pelayannya sampai pemimpin-pemimpinnya menolak keras adanya perceraian. Semakin taat seseorang pada Firman Tuhan khususnya yang tertulis dalam Mat.19:6, maka semakin keraslah penolakan itu. Padahal ketika kita membaca Matius 19:6 dimana Tuhan Yesus menyampaikan Firman itu mempunyai konteksnya sendiri. Tuhan Yesus menyampaikan Firman itu kepada umat dimana hukum Musa tentang perkawinan telah dianggap enteng oleh para suami dan mengambil keuntungan dari hukum itu yang tidak memberi tempat bagi suami dan isteri untuk dipersatukan kembali dalam konflik perkawinan mereka (Ul.24:1-4). Dengan menyampaikan Firman itu Yesus menempatkan perkawinan sebagai sebuah relasi yang luhur dengan menjauhkan sistem yang mempermudah perceraian seperti yang dimungkinkan dibawah hukum Musa. Tetapi sampai pada saat ini nats tersebut telah menjadi “paku mati” bagi gereja yang tidak membuka peluang sedikitpun dan tidak perduli dengan alasan orang yang ingin bercerai. Pasangan suami isteri yang bermasalah menjadi tidak benar-benar dibantu untuk melihat persoalan kecuali diminta (dipaksa) mereka bertahan
Penolakan terhadap perceraian tidak hanya datang dari pihak laki-laki atau suami sebagai yang lebih banyak melakukan tindakan kekerasan, melainkan juga dihayati dan dipegang teguh oleh kaum perempuan sebagai korban kekerasan. Ketakutan terhadap dosa membuat kaum perempuan lebih suka menahan penderitaan daripada menerima hukuman dosa akibat bercerai karena rasa sakit akibat kekerasan masih lebih ringan daripada hukuman Tuhan karena dosa bercerai. Sering juga dengan membandingkan penderitaan mereka yang belum seberapa dibanding penderitaan Yesus di kayu salib yang harus diteladani dalam penderitaan dan pengorbanan-Nya. Mereka lupa bahwa membiarkan diri mereka disiksa, menjadi korban KDRT adalah sebuah sikap yang tidak menghargai diri sebagai gambar Allah, membiarkan gambar Allah dirusak dan tak berharga adalah juga sebuah dosa.
Banyak pasangan Kristen secara khusus kaum perempuan yang tetap mempertahankan perkawinan demi anak-anak, demi nama baik keluarga, status dan martabat. Padahal ada banyak anak yang lebih suka orang tuanya bercerai dari pada menyaksikan KDRT terus berlangsung. Mereka tidak rela ibunya dan mereka menjadi korban KDRT.
Banyak perempuan korban kekerasan menerima penderitaan mereka dengan sukarela dan tanpa protes. Mereka rela menjalani semua itu, yang penting tetap punya suami dan keluarga. Namun demikian jikalau perceraian terjadi juga menimbulkan dampak seperti penurunan standar ekonomi kehidupan karena berkurangnya sumber ekonomi, anak-anak yang mengalami stress baik sebelum, dan sesudah perceraian orang tua.
PERCERAIAN, MUNGKINKAH?
Fakta dan data menunjukkan dimana perceraian terjadi karena KDRT, ketidakadilan dan penindasan terhadap perempuan. Karena itu gereja harus menunjukkan diri dan kepedulian untuk memikirkan, menganalisa dan mengkaji kembali tentang larangan bercerai dengan alasan apapun. Masalah KDRT menyangkut kehidupan seseorang dan gereja harusnya berdiri di depan untuk membela kehidupan, untuk memberikan keadilan dan menyatakan kebenaran sebagaimana Tuhan harapkan dalam kehidupan umat-Nya.
Allah tidak menghendaki suatu pernikahan diceraikan oleh manusia. Untuk itu gereja harus menyiapkan pelayanan pastoral yang benar-benar mumpuni untuk mempersiapkan setiap warga gereja dan pasangan yang hendak menikah agar memahami bahwa kehendak Alah bukan hanya pada ritual pernikahan saja tetapi juga pada relasi kehidupan yang dibangun selanjutnya.
Hidup pernikahan adalah hidup tunduk pada Allah, dimana Ia amat berperan dalam pernikahan itu. Jika di dalam pernikahan terjadi ketidakadilan, penindasan, KDRT, maka gereja tidak boleh tutup mata dan bersembunyi dibalik tradisi “pokoknya tidak boleh bercerai/ dilarang bercerai”. Pelayanan pastoral pada keluarga harus benar-benar berlanjut untuk membantu menyelesaikan bahkan menghentikan apa yang tidak benar tersebut.
Keseriusan setiap pasangan warga gereja memperjuangkan keadilan dan kebenaran sebagai kehendak Allah dalam hidup pernikahan mereka dan seluruh energi untuk mempertahankan pernikahan tidak boleh sekedar di bawah rasa malu atau rasa takut berdosa, dengan sikap menerima begitu saja keadaan tanpa perlawanan dan usaha. Dan untuk itu gereja perlu melakukan tindakan pastoral yang terbuka, kritis dan reflektif
Perceraian memang tidak diperkenankan tetapi menolak perceraian dengan menutup mata pada kedegilan hati dan ketidakpedulian pada persoalan dan kebenaran dalam hidup pernikahan juga bukanlah sifat taat pada Allah. Kadang-kadang kita harus membuat pilihan antara menyelamatkan kehidupan atau memegang tradisi. Sebab kalau pernikahan yang tidak baik dibiarkan, maka penghormatan masyarakat terhadap lembaga pernikahan akan menurun.
Perceraian memungkinkan pernikahan yang buruk diakhiri dan pernikahan yang baik bisa dijalin lagi. Oleh karena itu perceraian hanya bisa menjadi solusi terakhir untuk menyelesaikan persoalan KDRT yaitu, ketika segala upaya yang dilakukan tidak membuahkan hasil dimana pasangan sudah tidak punya niat untuk menyelesaikan masalah dan tetap ingin berpisah, dan menyadari bahwa kehidupan keluarga yang dipenuhi dengan konflik dan kekerasan tidak akan membawa damai sejahtera dan kebahagiaan.
PENUTUP
Keluarga yang bahagia tidak terjadi dengan sendirinya, tetapi sesuatu yang harus diusahakan. Keseriusan dan kesungguhan dalam menghidupi sebuah pernikahan diharapkan dapat memberikan kebahagiaan dan perlindungan terhadap anggota keluarga. Dan ketika konflik dan berbagai masalah datang, pasangan suami isteri dapat menghadapi dan menyelesaikannya tanpa kekerasan. Dan dukungan gereja dengan pelayanan pastoralnya akan sangat membantu pasangan suami isteri menghasilkan keluarga yang berkualitas. (bgs/hks)
Daftar bacaan:
Alkitab, TB LAI . 2011
Asnath Niwa Natar (editor): Perceraian dan Kehidupan Menggereja, Yayasan Taman Pustaka Kristen Indonesia, Yogyakarta, 2018.
Asnath Niwa Natar, Membongkar Kebisuan Perempuan; Kedudukan dalam Alkitab ditinjau dari Perspektif Feminis. BPK GM, Jakarta 2020.
Hendri Wijayatsih, Meretas Cinta, Harapan dan Terror, KMO Jakarta 2020.
Lusia Palulungan (editor) , Pernikahan Kristen dalam Perspektif Keadilan Gender, BPK GM, 2020
Pdt. Prof. Dr. Messach Krisetya, M,Th, : Konseling Pernikahan dan keluarga, UKSW , Salatiga 2008
Ruth Schafer & Freshia Aprilyn Ross, Bercerai Boleh atau Tidak? Tafsiran terhadap Teks-Teks PB, BPK GM. 2013.
https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2022/02/28/kasus-perceraian-meningkat-53-mayoritas-karena-pertengkaran.
https://www.liputan6.com/news/read/5073532/angka-perceraian-di-indonesia-terus-naik-lembaga-perkawinan-tidak-lagi-sakral
https://disdukcapil.purworejokab.go.id/2020/08/30/perceraian-non-muslim-bagaimana-tatacaranya/ oktober 2022.
Pdt. Julinda Sipayung, M.Si
Koordinator WCC Sopou Damei GKPS