CERITA PILU TAK BERUJUNG

Lusi seorang perempuan Batak, tamat dari salah satu PT Negeri di Kota M dengan ijazah Sarjana Hukum. Lusi berkenalan dengan Bana melalui keluarga dekat dan tidak lama berselang memutuskan untuk menikah. Mereka menerima pemberkatan di salah satu gereja di Kota S. Tuhan mengaruniakan dua orang anak, putera dan puteri bagi mereka.

Masalah dalam rumah tangga Lusi muncul sejak ia mulai aktif mengikuti kegiatan di gereja. Dia dipilih menjadi pengurus di berbagai organisasi tanpa meninggalkan tugas sebagai isteri dan ibu untuk anak-anak termasuk dalam hal mengurus ibu mertua yang sakit bertahun-tahun sampai meninggal dunia. Tetapi disinilah awal mula dari kekerasan itu terjadi. Suaminya cemburu dan selalu curiga, bahkan sampai menuduhnya berselingkuh. Dengan alasan itu suaminya mulai membatasi dan melarang untuk mengikuti kegiatan-kegiatan sosial, adat dan ke gereja. Dia diancam dengan pisau, dikurung di kamar/pernah semalaman di kurung di kamar mandi dibawah ancaman pisau. Pernah pulang dari ladang tidak dibolehkan masuk ke rumah. Para tetangga tahu tetapi tidak bisa berbuat apa-apa.

Bertahun-tahun seperti itu sampai anak-anak tamat Sekolah Menengah Atas. Sampai suatu saat ketika dia mau diancam dibunuh di dalam rumah karena ikut kegiatan di gereja, saat itulah Lusi lari keluar dari rumah dan pergi ke ladang. Ketika sore pulang dari ladang, Lusi tidak diijinkan untuk masuk, justru pakaiannya dilemparkan keluar rumah. Sejak saat itulah Lusi tidak pernah lagi menginjakkan kaki di rumahnya.

Ketika Lusi datang ke Sopou Damei, dia hanya minta didoakan saja, karena apapun yang terjadi, Lusi bertekad tidak mau bercerai. Ketika ditawarkan untuk melakukan mediasi, baik oleh gereja juga secara adat, Lusi tidak bersedia. Tetapi tidak tinggal bersama suaminya. Atas nama iman dan ajaran gereja, Lusi bertahan tidak mau mengikuti proses hukum dan mengatakan dia hanya membutuhkan penguatan dan peneguhan agar bisa bertahan hidup dengan status “sirang so sirang” walau sering dihina dan dipandang sepele oleh orang lain terutama dalam acara-acara adat.

KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

Menjadi keluarga bahagia dan harmonis merupakan salah satu tujuan hidup rumah tangga yang membutuhkan banyak faktor pendukung, khususnya dari kedua belah pihak. Di antara faktor pendukung itu salah satu yang penting adalah perspektif setara dan adil gender yang bebas kekerasan. Karena seringkali pasangan suami-istri (pasutri) yang tumbuh dan dibesarkan di tengah-tengah keluarga yang sangat patriakh, dengan pola relasi kuasa yang tidak seimbang antara suami-isteri, menekankan dominasi laki-laki untuk mengontrol perempuan, dan memicu konflik serta persoalan-persoalan rumah tangga, sehingga seringkali berujung pada tindakan kekerasan demi kekerasan.

Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga (pasal 1,1, UUPKDRT).

Secara umum tindakan KDRT berakar pada beberapa hal yaitu: budaya patriakh/kyriarkhi, interpretasi religious, pendidikan,  ekonomi, seksualitas, adiktif (narkoba/alkohol), judi, pembagian peran yang tidak adil, dan sosial budaya seperti ketimpangan relasi laki-laki dan perempuan yang diakibatkan oleh perbedaan gender dalam masyarakat (anggapan bahwa kedudukan laki-laki lebih tinggi daripada perempuan), dan okultisme.

 JENIS KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

Dalam UUPKDRT disebutkan dengan tegas jenis KDRT:

  • Kekerasan Fisik adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat (Pasal 6).
  • Kekerasan Psikis adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau penderitaan psikis berat pada seseorang (Pasal 7).
  • Kekerasan Seksual adalah setiap perbuatan yang berupa pemaksaan hubungan seksual, pemaksaan hubungan seksual dengan cara tidak wajar, dan/atau tidak disukai, pemaksaan hubungan seksual dengan orang lain untuk tujuan komersial dan /atau tujuan tertentu. (Pasal 8).
  • Kekerasan ekonomi /penelantaran rumah tangga (Pasal 9).

POLA LINGKARAN KEKERASAN

Gambar di atas adalah pola yang disebut sebagai siklus kekerasan yang yang terjadi pada KDRT. Diawali dengan fase bulan madu dimana keadaan masih bisa saling menerima perbedaan dan dominasi yang terjadi di antara suami dan isteri, juga masih minimnya masalah-masalah kehidupan yang dialami. Kemudian beranjak pada fase konflik dan ketegangan yang terus menerus terjadi. Kekerasan secara psikologispun sudah mulai muncul ketika masalah dan konflik serta ketegangan yang terjadi tidak kunjung dapat diselesaikan secara lebih dewasa dan kematangan berpikir dan bertindak.  Hal ini juga dipengaruhi oleh latar belakang budaya, faktor psikologi, faktor ekonomi atau pendidikan pelaku. Maka terjadilah ledakan emosi dalam tindakan kekerasan, baik berupa pemukulan, mencekik atau bentuk-bentuk penyiksaan lainnya.

Namun pada fase berikutnya pelaku yang menyadari tindakannya berusaha untuk meminta maaf dan berusaha menunjukkan perilaku-perilaku yang menunjukkan dia khilaf dan sudah berubah. Tidak jarang juga dengan menunjukkan permintaan maaf dengan membelikan atau memberi sesuatu kepada korban. Tentunya hal-hal seperti ini dapat meluluhkan hati korban, melupakan sakitnya luka baik luka fisik maupun luka di hati. Dan kondisi ini mungkin akan bertahan untuk beberapa waktu sebelum kembali menegang dan meledak dalam kekerasan yang mungkin akan lebih parah. Durasi waktu dari fase satu ke fase yang lainnya bisa cepat, bisa lama, tidak dapat diprediksi. Tergantung kepada pemicu yang dihadapi oleh pelaku atau korban.

Dari apa yang disampaikan oleh klien atau penyintas KDRT yang pernah dilayani oleh WCC Sopou Damei GKPS membenarkan hal tersebut. Seringkali para penyintas mencari pertolongan ketika tindakan KDRT sudah terjadi berkali-kali dan pelaku tidak mengalami perubahan. Sehingga mencoba menggali informasi tentang “kapan pertama kali mengalami kekerasan, apa bentuk kekerasan yang dialami, seberapa sering atau sudah berapa kali mengalami kekerasan, apa biasanya yang menjadi pemicu pelaku melakukan kekerasan”, adalah pertanyaan yang menolong penyintas untuk mengenali kekerasan/ KDRT yang dialaminya dan membantu pendamping menolong korban untuk mengambil keputusan memutus dan menghentikan kekerasan.

STOP KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA!

Data pendampingan di WCC  Sopou Damei GKPS

Tahun 2022 (Januari-Juli)  : 10 kasus

Tahun 2021                       : 28 kasus

Tahun 2020                       : 33 kasus

Tahun 2019                       : 14 kasus

Tahun 2018                       : 48 kasus

Tahun 2017                       : 20 kasus

Data ini memang sangat sedikit tetapi ini seperti permukaan gunung es yang berarti jauh dari fakta yang sebenarnya. Hal ini juga menunjukkan bahwa masih banyak korban kekerasan yang diam, tidak berani bersuara dengan berbagai alasan.

WCC Sopou Damei dapat terhubung dengan para korban dengan cara, ada yang datang sendiri atau ditunjukkan/diantar oleh koleganya (drop in) yang sudah mengetahui tentang pelayanan Sopou Damei, ada yang juga yang harus dijangkau (reach out) oleh Sopou Damei baik karena alasan keamanan, ekonomis atau psikologis serta lumayan banyak juga yang hanya berkomunikasi by phone, untuk curhat dan kemudian meminta nasihat dan saran serta mohon didoakan.

Dalam pelayanannya WCC sopou damei memberikan pelayanan secara litigasi dan non litigasi. Secara litigasi dengan mendampingi membuat pelaporan sampai ke tahap akhir bersama ahli hukum yang yang ditunjuk oleh WCC atau sesuai permintaan korban. Jikalau itu memang sudah menjadi pilihan korban dengan memberi pertimbangan-pertimbangan risiko serta alternatif-alternatif yang masih bisa dilakukan. Secara non litigasi dengan memberi pendampingan baik berupa pendampingan/konseling pastoral, mediasi budaya, medis atau pendampingan ekonomi.

Berdasarkan jenis atau bentuk kekerasan yang dialami maka bentuk pendampingan yang diberikan juga tidak bisa disamakan kepada semua korban. Namun perspektif gender/perempuan dan perspektif korban/pelaku merupakan hal yang sangat mendasar dalam pendampingan yang dilakukan.

PANGGILAN PASTORAL GEREJA

Alkitab baik dalam Perjanjian Lama (PL) maupun dalam Perjanjian Baru (PB) memuat gambaran bagaimana Allah hadir sebagai Pastor yang menggembalakan umatnya dengan meyembuhkan, menunutun, menopang, memulihkan dan memelihara kehidupan umatnya. Misalnya Yehezkiel 34:16; Tuhan berfirman “yang hilang kucari, yang tersesat Kubawa pulang, yang luka akan Kubalut, yang sakit akan Kukuatkan, serta yang gemuk dan yang kuat akan Kulindungi, Aku akan menggembalakan mereka sebagaimana mestinya”. Demikian juga dalam Yohanes 10:1-21, yang menunjukkan Yesus sebagai Gembala yang baik, yang memiliki kedekatan dengan domba-dombanya, dan melindunginya sampai menyerahkan nyawanya demi kehidupan domba-dombanya.

Ketika KDRT terjadi masih banyak warga jemaat (perempuan) yang memilih untuk datang kepada gereja dalam hal ini kepada Pendeta ataupun anggota majelis di gerejanya untuk mendapatkan pendampingan, apakah itu sekedar minta didoakan, nasihat, dan konseling atau sekedar menginformasikan bahwa rumah tangganya sedang dalam tahap krisis, karena KDRT, relasi yang sudah dingin, sudah berpisah untuk waktu yang lama dan menginginkan perceraian. Jikalau mereka masih berusaha bertahan itu adalah karena alasan iman yang melarang perceraian juga karena anak-anak yang dirasa masih membutuhkan kasih sayang dan bimbingan orang tua. Dengan mempertimbangkan hal ini maka sebenarnya gereja masih menempati urutan pertama sebagai tempat untuk menemukan solusi atau pendampingan ketika pasutri mengalami konflik bahkan KDRT. Konseling pastoral masih sangat dibutuhkan untuk membawa dan mengembalikan keluarga-keluarga yang sedang mengalami “guncangan” kehidupan rumah tangga kepada keluarga yang saling mengasihi dan menghargai.

Panggilan pastoral gereja bukan hanya membantu mencari solusi-solusi yang ada bagi krisis yang dialami pasutri tetapi mempertemukan korban dan atau pelaku kekerasan dengan sang Gembala Agung penolong yang sejati yaitu Kristus sendiri, diantaranya :

  • Merumuskan bentuk-bentuk pendekatan pastoral yang mampu memberdayakan pasutri yang hidup rumah tangganya bermasalah untuk memperoleh dan mengalami pemulihan guna memasuki kehidupan rumah tangga yang harmonis sebagaimana dicita-citakan oleh iman Kristen.
  • Melakukan tindakan pastoral yang terbuka, kritis, dan reflektif, membuka diri pada apa yang terjadi dan dialami oleh warganya dan masyarakat.

Pelayanan pastoral pada keluarga haruslah sebuah tindakan yang didasari oleh kesediaan untuk berteologi praktis dan kritis yang tebuka, untuk berdialog terutama mendialogkan, mendengarkan pengalaman korban dan pelaku. Banyak Pendeta atau Majelis di gereja yang didatangi oleh warga yang mengalami KDRT tidak tahu mau melakukan apa, tindakan apa yang harus dilakukan. Karena itu perlu memperlengkapi para pelayan di gereja (Pendeta dan Majelis) tentang pertolongan pertama pada Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Kekerasan Terhadap Perempuan, Kekerasan Seksual dan Kekerasan Seksual pada Anak (KDRT, KTP, KS, KSA).  Pendampingan/konseling pastoral harus dilakukan bagi keluarga-keluarga yang sedang mengalami krisis.

Gereja perlu lebih aktif mendampingi warganya dan tidak menunggu masalah semakin parah dan tidak bisa ditolong lagi (bercerai). Kiranya Gereja tidak antusias hanya pada upacara-upacara pernikahan saja tetapi kurang peduli dan peka pada kehidupan pernikahan itu sendiri. Sehingga seringkali Pendeta menjadi tempat yang terakhir ketika hubungan pasutri sudah ditahap kritis untuk mencari pertolongan bagi pasangan yang sedang mengalami konflik atau KDRT.

Gereja perlu mengembangkan fungsi pastoralnya yaitu :

  • Menyembuhkan (Healing) “fungsi yang terarah untuk memperbaiki atau menyembuhkan luka-luka batin yang dialami oleh korban KDRT”.
  • Mendukung (Sustaining) “mendampingi orang yang terluka agar dapat bertahan dan mengatas situasi yang terjadi.
  • Membimbing (Guiding) “mendampingi dan menolong orang yang sedang menghadapi masalah dan harus mengambil pilihan atau keputusan-keputusan yang sangat sulit dan berat.
  • Memulihkan (Reconciling) “usaha memulihkan hubungan-hubungan yang telah rusak oleh berbagai bentuk kekerasan yang terjadi.
  • Memelihara (Nurturing) “memberikan pembinaan-pembinaan yang menjadi pemahaman-pemahaman baru untuk memelihara pertumbuhan relasi kepada Tuhan dan sesama dalam meneruskan perjalanan kehidupan para korban dan atau juga pelaku.

PRINSIP PENDAMPINGAN PASTORAL DENGAN PERSPEKTIF KORBAN (KDRT/KTP)

  • Tidak menghakimi atau menyalahkan korban (Non-Judgement)
  • Membangun hubungan yang setara (Not Power Relation).
  • Membiarkan korban mengambil keputusan sendiri (Self Determination)
  • Azas pemberdayaan (Empowerment).
  • Menjaga kerahasiaan (Confideality).
  • Intervensi krisis (Tindakan medis, memisahkan dari pelaku, menyediakan shelter atau Proses Hukum, relaksasi dan tindakan kesegeraaan lainnya).

KONSELING KRISIS

Konseling Krisis bertujuan menolong orang yang sedang mengalami krisis untuk mendapatkan pertolongan dari situasi yang dihadapinya dan masalah dapat diatasi dengan baik. Ada dua jenis krisis yaitu: krisis yang bersifat normal atau perkembangan (developmental) dan kebetulan (accidental). Krisis yang normal ialah krisis yang terjadi karena peristiwa yang terjadi sebagai bagian integral dari pertumbuhan individu seperti; memasuki usia sekolah, masa remaja, bekerja, menikah, meninggalkan orang tua, menopause, pensiun, kematian teman, saudara atau bahkan orang tua. Pengalaman-pengalaman ini bisa memberi tekanan dan menimbulkan stress bagi individu, sampai tahap dimana individu tidak mampu mengatasinya dan membutuhkan pertolongan. Sedangkan krisis yang terjadi secara kebetulan dapat terjadi oleh karena perubahan yang dialami individu secara tiba-tiba dan seringkali tidak terencana yang bisa menimbulkan trauma, ketakutan, kesedihan dan atau gangguan-gangguan emosional/ kejiwaan.

Konseling krisis bisa informal dan formal, jangka pendek dan jangka panjang atau dalam waktu yang lama. Dalam pendampingan terhadap korban KDRT melalui konseling krisis, beberapa hal yang bisa dilakukan adalah :

  1. Membangun komunikasi dan hubungan saling percaya dengan korban/ penyintas. Membantu penyintas untuk dapat mengenali masalah yang sedang dihadapi, jenis kekerasan yang dialami, awal mulanya, pemicunya, durasinya atau bahkan lokasinya dimana dan kapan saja. Menolong korban/ penyintas untuk mengalami katarsis emosional dan membangun suatu pengertian yang penuh pengharapan akan situasi yang sedang dihadapi dengan menyatakan kesediaan sebagai sahabat yang bersedia menolong dan menunjukkan ke
  2. Memfokuskan pada masalah dan merencanakan tindakan selanjutnya bersama korban.
  3. Mengatasi masalah dengan menginventarisir masalah yang dihadapi dan solusi yang mungkin bisa dilakukan. Menekankan betapa pentingnya membangun relasi dan komunikasi dengan orang lain yang ada disekitar penyintas khususnya individu-individu yang dapat memberi pertolongan di saat-saat kritis. Serta mengusahakan supaya memiliki pemahaman-pemahaman baru menyangkut kekerasan dan cara penanganannya.

PENUTUP

Marilah kita bersama-sama ambil bagian dalam tugas dan tanggungjawab kita masing-masing baik sebagai warga gereJa terlebih, sebagai pelayan di gereja-Nya, untuk bersama-sama menyuarakan, bertindak dalam mengentikan kekerasan (stop KDRT). Terkhusus para Pastor atau Pendeta/Penginjil supaya semakin memperlengkapi diri dalam pelayanan ini. Semakin peka, waspada, terbuka sekaligus reflektif untuk memberikan pendampingan pastoral bagi mereka yang mengalami KDRT, sehingga tercipta keluarga yang bahagia dan merdeka dalam berkat Tuhan. (bgs/hks)

 

Bahan Bacaan :

Alkitab, TB LAI , 2011.

Howard Clinebell, Tipe-Tipe Dasar Pendampingan dan Konseling pastoral, BPK GM, 2002.

Kathryn Geldard, Membantu Memecahkan Masalah Orang Lain dengan Teknik Konseling, Pustaka Pelajar, 2008.

Pdt. Darwita Purba & Rapnauli Purba, SH, Pendampingan Terhadap Perempuan Korban Kekerasan dengan Konseling Pastoral Berperspektif Gender, Sopou damei GKPS, 2011.

Tjaard G. Hommes, Teologi dan Praksis Pastoral, BPK GM, 1992.

Tjaard & Anne Hmmes, Konseling Krisis, Kehadiran Pastor dalam Situasi Krisis, Puskat. Yogyakarta, 2000.

 

Pdt. Julinda Sipayung, M.Si

Koordinator WCC