Sumber gambar https://magdalene.co/story/rumah-tangga-harmonis/

PENGANTAR

Sebuah mitos Yunani kuno menceritakan bahwa pada suatu saat bumi dihuni oleh manusia yang separuh badannya laki-laki dan separuh badannya perempuan. Oleh karena itu mereka menganggap diri mereka lengkap juga sempurna. Kenyataannya memang mereka dapat melakukan segala sesuatu, bahkan menyerupai para dewa. Dan dengan segala kebanggan itu mereka datang dan memberontak terhadap dewa-dewa. Lalu Zeus, dewa tertinggi, dengan marah membelah mereka masing-masing menjadi dua bagian, mencerai-beraikannya menjadi setengah-setengah badan, dan menempatkannya di atas bumi. Sejak saat itu yang setengah badan dengan penuh hasrat selalu mencari setengah badan yang lain untuk merasa lengkap, penuh dan sempurna di dalam dirinya, dan itu dinamakan cinta.

Demikian diceritakan hingga saat ini bahwa yang setengah badan itu masih terus mencari-cari dengan istilah yang mungkin sering kita dengar seperti “belahan jiwa”, “separuh nyawa”, dan istilah-istilah lainnya. Sampai hari ini manusia tetap berusaha melengkapi, dan memenuhi kesempurnaan hidupnya dengan menemukan pasangan jiwanya. Dan ketika manusia merasa sudah menemukannya, mereka menyempurnakannya dalam sebuah ikatan bernama pernikahan. Dimana keduanya menyadari dan menemukan bahwa ada banyak perbedaan diantara mereka. Perbedaan fisik, psikis atau emosional, juga mental yang memengaruhi cara-cara mereka mempertahankan pernikahan itu.

 

ISI

Perbedaan-perbedaan antara laki-laki dan perempuan atau pria dengan wanita ada yang merupakan bawaan namun banyak juga yang dipelajari dan bertumbuh dalam lingkungan kehidupannya. Ada yang bahkan tidak menyadarinya sebelum memasuki suatu pernikahan, serta banyak juga yang tidak merasakan bahwa sebagai pasangan mereka ternyata memiliki perbedaan yang sangat kontras. Dan serta merta berpikir bahwa seandainya dia tidak menikah dengannya atau seandainya dia (pasangannya) mempunyai sifat atau kepribadian yang tidak seperti itu (yang lebih baik), dan seterusnya. Alhasil ada yang berusaha mencoba mengubah diri sendiri, baik secara fisik dengan segala macam tindakan (termasuk operasi untuk mengubah fisik misalnya) tetapi ada juga yang berusaha untuk mengubah pasangannya. Misalnya ketika ada pasangan melihat pasangan orang lain dan ingin agar pasangannya seperti pasangan orang lain itu, “seandainya pasanganku ini seperti si anu itu, seandainya aku seperti si anu, seperti si ani”, dan seterusnya.

Perubahan dapat menjadi sesuatu yang baik tetapi menginginkan pasangan berubah menjadi sesuatu yang tidak mungkin dapat ia lakukan hanya akan menimbulkan masalah baru. Sehingga pada akhirnya ketika tindakan dan cara-cara itupun tidak berhasil maka yang timbul adalah penyesalan, kebosanan, kemalasan atau keengganan untuk bersama, yang semakin lama akan berakibat hilangnya suasana hangat dan gembira dalam pernikahan, menyisakan hati yang dingin dengan jiwa yang hampa, sebab tidak ada lagi kemesraan, juga romantisme seperti awal mula pernikahan itu.

Perbedaan antara laki-laki dan perempuan tidak bisa tidak, harus dipandang sebagai karya Allah yang luar biasa, sebuah rancangan yang hebat. Perbedaan itu merupakan sebuah grand design Allah Sang Pencipta dengan tujuan tertentu. Maka perjumpaan laki-laki dan perempuan yang kemudian terikat dalam pernikahan adalah dalam rangka mewujudnyatakan rancangan Sang Pencipta yaitu Tuhan Allah.

Sebagaimana sudah disebutkan di awal, secara kodrati bahwa laki-laki dan perempuan memang berbeda. Secara kodrati berarti ada perbedaan yang dikaruniakan oleh Tuhan sebagai hak istimewa yang bersifat universal dan sulit untuk diubah oleh manusia.  Secara kodrati laki-laki diberikan Tuhan kemampuan untuk membuahi, sebab laki-laki mempunyai sperma. Sedangkan perempuan secara kodrati ia mengalami atau diberi kemampuan untuk merasakan: menstruasi, mengandung, melahirkan, menyusui dan atau menopause.

Perbedaan secara kodrati ini kemudian sangat memengaruhi kemampuannya secara fisik dan psikis. Tetapi kemudian ada juga perbedaan-perbedaan yang dikenakan kepada perempuan dan laki-laki yang memang berasal dari konstruksi budaya atau pembelajaran dan pembiasaan di tengah-tengah kehidupan sosial masyarakat yang seringkali malahan dianggap sebagai kodrat. Sehingga seringkali menimmbulkan ketidakadilan terhadap salah satu pihak. Baik di dalam rumah tangga maupun di tengah-tengah kehidupan masyarakat secara umum. Misalnya istilah yang selalu ingin mengatakan bahwa perempuan tugasnya di rumah, melayani suami dan atau merawat keluarga sementara suami tugasnya mencari nafkah di luar rumah, padahal zaman sekarang perubahan sudah banyak terjadi. Misalnya perempuan sudah banyak yang ikut mencari nafkah dengan bekerja dan berkarier di luar rumah. Dan kondisi ini secara tidak langsung menimbulkan ketidakadilan karena perempuan menanggung beban ganda atau lebih, misalnya sudah bekerja di luar rumah mencari nafkah tetapi harus mengerjakan pekerjaan di rumah dengan “melayani suami” dan “merawat keluarga”.

Belum lagi perbedaan-perbedaan yang lain seperti yang dikatakan oleh Ray Mossholder dalam bukunya “Marriage Plus”. Misalnya laki-laki memakai daya analisa sedangkan perempuan memakai daya intuisi. Perempuan berpikir dan mengambil keputusan berdasarkan kenangan masa silam, sedangkan laki-laki berdasarkan kenyataan sekarang. Laki-laki lebih mementingkan hasil sedangkan perempuan mementingkan proses. Laki-laki menekankan prestasi dan kekuasaan sedangkan perempuan mementingkan relasi dan kerja sama. Jadi laki-laki dan perempuan memang berbeda. Oleh karena itu untuk membuat perbedaan-perbedaan ini menjadi aset positif yang mendatangkan kebahagiaan dan pernikahan yang lebih berkualitas, maka dibutuhkan keterampilan untuk mengelolanya secara maksimal, sehingga konflik-konflik yang dapat menyulut pertengkaran, kebencian, kemarahan dan kepahitan-kepahitan dalam pernikahan bisa diminimalisir untuk saling menerima dan membangun diri, dalam tujuan pernikahan saling mengasihi, menyayangi sampai maut memisahkan.

Oleh karena memang tidak ada pernikahan yang bahagia dan berkualitas yang datang begitu saja melainkan diciptakan dengan mempelajari atau memahami keterampilan merawat pernikahan.

Julianto Simanjuntak dalam bukunya Merawat Pernikahan menuliskan sepuluh keterampilan perkawinan yang bisa dilatih yakni:

  1. Menjadikan keluarga sebagai prioritas utama. Diantara semua aktifitas dan kegiatan yang membutuhkan pperhatian dan waktu, keluarga menjadi prioritas yang pertama.
  2. Menyediakan waktu yang lebih banyak untuk keluarga atau quality time.
  3. Memiliki dan mempertajam visi pernikahan. Dengan memiliki dan menetapkan apa-apa yang menjadi tujuan pernikahan, pasangan dapat mengembangkan potensi diri tanpa menimbulkan konflik dan perdebatan-perdebatan karena perbedaan-perbedaan yang ada.
  4. Menyadari bahwa mengubah pasangan (sifat, karakter, kebiasaan-kebiasaan) tidak mudah, oleh karena itu dibutuhkan kesabaran dan kemauan serta tekad untuk bertumbuh lebih sehat dalam hubungan pernikahan yang sedang dibangun.
  5. Menghargai perubahan walau kecil sekalipun. Walau perbedaan masih tetap ada namun perubahan sekecil apapun dari usaha setiap pasangan harus dihargai bahkan mendapat pujian, sebab bisa saja perubahan yang kecil itu membutuhkan usaha dan kerja keras dari pasangan.
  6. Berani mengubah diri (kebiasaan dan sifat) yang dapat menyebabkan konflik demi menciptakan hubungan yang lebih positif dan menyenangkan.
  7. Mengembangkan sikap empati dan mendengarkan. Sikap yang membutuhan keterbukaan dan kerelaan untuk saling mendengarkan, baik mendengar secara verbal maupun non verbal. Hal ini penting untuk mengetahui dan memahami perasaan-persaan yang disampaikan dengan jujur melalui kata-kata maupun ekspresi melalui bahasa-bahasa tubuh.
  8. Melatih keterampilan untuk menggunakan kata-kata yang bijak, positif dan membangun seperti kata good idea, good job, i appreciate that, please help, thank you, dan i love you, dan perkataan positif lainnya.
  9. Menggunakan kata KITA dari pada Aku atau Saya. Keterampilan menggunakan kata KITA, merupakan salah satu cara untuk menghindari sikap menyerang atau menyalahkan atau bahkan menonjolkan diri sendiri. Tentu saja ini juga perlu dilatih.
  10. Mencari bantuan professional (konselor) terutama ketika relasi atau cinta dalam pernikahan sudah padam, menjadi dingin dan membosankan bahkan dipenuhi konflik dan pertengkaran yang tak pernah habis. Maka dengan mencari bantuan secara professional akan membantu pasangan menghidupkan kembali cinta dan romantisme dan mengusahakan kebahagian dalam pernikahan yang bertumbuh dan berkualitas.

 

PENUTUP

Perempuan dan laki-laki memang berbeda. Perbedaan yang bertujuan untuk saling melengkapi dan menyempurnakan bukan malah memisahkan dan membeda-bedakan yang mendatangkan konflik dan persaingan. Tetapi perbedaan yang menghadirkan keindahan seperti pelangi dengan warnanya yang sangat beragam dan mendatangkan keindahan. Demikian juga perbedaan laki-laki dan perempuan bukan untuk merasa lebih superior, lebih hebat, lebih penting dan utama dari yang lain.

Sebagaimana yang dikatakan oleh Rasul Paulus dalam 1 Korintus 11:11-12 “Namun demikian dalam Tuhan tidak ada perempuan tanpa laki-laki dan tidak ada laki-laki tanpa perempuan. Sebab sama seperti perempuan berasal dari laki-laki, demikian pula laki-laki dilahirkan oleh perempuan; dan segala sesuatu berasal dari Allah (Tapi age sonai, ibagas Tuhan parinangon marguru bani paramangon do, anjaha paramangon marguru bani parinangon do. Ai songon naboru marharohan humbani dalahi, sonai do homa dalahi marharohan humbani naboru, tapi haganup do marharohan humbani Naibata do).

Mari membangun keluarga harmonis dalam perbedaan yang indah dan berkualitas. (bgs/hks)

 

Pdt. Julinda Sipayung, MSi (Koordinator WCC Sopou Damei GKPS)