St. Charles Sidabutar yang adalah salah seorang dari warga Sipolha dan Tambun Raya menyampaikan jeritan hatinya terkait situasi satwa liar yang yang telah merusak lahan pertanian warga. (Foto: bgs/hks)

PEMATANG SIANTAR.GKPS.OR.ID. Tak ada seorang pun dari warga dari Sipolha dan Tambun Raya, Kecamatan Pematang Sidamanik, Kabupaten Simalungun memperkirakan kampung mereka akan “diserbu” ratusan kawanan kera, babi hutan dan ular. Bak dalam sebuah film action, sejak tahun 2019, terjadi “perebutan makanan” antara manusia dan satwa liar di Sipolha dan Tambun Raya. Kehidupan manusia dengan alam dan ciptaan Tuhan lainnya yang jauh sebelumnya hidup dengan harmonis, namun kini “berperang, saling menyerang” untuk mempertahankan hidup masing-masing.

Tragedi berawal ketika adanya izin dari Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup mengkonversi hutan di sekitar Tambun Raya dan Sipolha menjadi Hutan Tanaman Industri. Ijin itu diberikan kepada PT. Toba Pulp Lestari (PT. TPL) yang menebang hutan pinus dan menanam tanaman eucalyptus. Aktivitas ini menyebabkan “rumah” para satwa liar hancur sehingga ratusan kera, babi hutan dan ular, bermigrasi ke lahan pertanian dan pemukiman warga. Tanpa pandang bulu, lahan-lahan warga yang ditanami pisang, mangga, ubi, dan durian seketika hancur dirusak oleh satwa liar. Para warga yang mayoritas menggantungkan hidup dalam sektor pertanian, bersatu untuk mengusir bahkan memusnahkan para satwa liar. Berbagai upaya telah dilakukan, namun tak ada hasil. Perekonomian warga hancur lebur, bahkan kehidupan peribadahan warga pun terganggu sebab mereka harus memilih antara “mangga atau berminggu/marminggu’.

Tak sampai disitu saja, warga juga sudah merasakan kesulitan mendapatkan air bersih, sebab beberapa mata air yang selama ini mengaliri sawah dan pemukiman warga telah kering. Hutan lindung yang seharusnya berfungsi sebagai peyangga kehidupan untuk mengatur tata air kini beralih fungsi menjadi hutan produksi.

Rintihan dan jeritan warga ini disampaikan dalam pertemuan Lokakarya Ekologi dan Keberlanjutan yang diadakan oleh GKPS melalui Departemen Pelayanan bekerjasama dengan United Evanggelical Mission (UEM) Regional Asia bidang JPIC (Keadilan, Perdamaian dan Keutuhan Ciptaan), pada 17-18 Juli lalu di Tigaras. Pertemuan yang dihadiri oleh 28 orang dari unsur Pendeta, Penginjil, dan Majelis dari berbagai denominasi gereja ini, merumuskan perlunya pendampingan yang intens kepada warga Sipolha dan Tambun Raya, agar persoalan segera teratasi.

Menindaklanjuti hasil lokakarya tersebut, Departemen Pelayanan GKPS dan JPIC UEM kembali mengadakan pertemuan khusus kepada warga Sipolha dan Tambun Raya, pada Kamis (27/7/23) pagi, di GKPS Tambun Raya, Resort Horisan Tambun Raya.

Pertemuan ini dihadiri oleh 30-an warga, Pangulu Tambun Raya Bilher Damanik, tokoh masyarakat, Praeses GKPS Distrik IX Pdt. Etty Saragih, M.Th, Irma Simanjuntak, SP. M.Si (Advokasi Konsultan UEM Regional Asia), Kepala Departemen Pelayanan Pdt. Dr. Jenny R. C. Purba, Pdt. Hotmaida Malau, Pdt. Bima Gustav Saragih, Pdt. Hamonangan Sinaga, Pdt. Cerimita Saragih (Pendeta GKPS Resort Horisan Tambun Raya) dan tiga orang staf dari Kelompok Studi dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat (KSPPM) Parapat serta jurnalis.

Pergumulan berat yang sedang dihadapi oleh warga Sipolha dan Tambun Raya merupakan pergumulan bersama yang berkaitan dengan kebenaran dan keadilan. Oleh karena itu, Pdt. Dr. Jenny Purba dalam khotbah pembukaan pertemuan ini mengangkat satu teks Alkitab dari Amos 5: 24, dimana keadilan dan kebenaran diibaratkan seperti air yang menjadi kebutuhan mendasar bagi umat manusia. Dan firman Tuhan inilah yang menjadi dasar panggilan bersama di tengah perjuangan warga Sipolha dan Tambun Raya.

Dalam pertemuan itu, Pdt. Cerimita Saragih kembali memaparkan permasalahan yang sedang dihadapi warga dan bentuk perjuangan yang telah dilakukan bersama oleh warga, dan perjuangan ini mendapat simpati dari berbagai pihak, mulai dari kaum rohaniawan GKPS, hingga pemerintah. Namun perjuangan tersebut belum membuahkan hasil, dan masih menempuh jalan yang panjang.

Senada dengan yang disampaikan Pdt. Cerimita, St. Charles Sidabutar, Pengantar Jemaat GKPS Huta Mula St. Dapot Sidabutar, Csy. Bungarame br. Sipayung dari GKPS Sipolha 2, dan ibu mak Rut Br. Siallagan warga GPDI Elroy Huta Mula, berharap dalam pertemuan ini ada langkah-langkah baru untuk menolong perjuangan mereka.

Leorana Sihotang dari KSPPM menerangkan bahwa sejak pra kemerdekaan, Indonesia kerap menghadapi konflik agraria, dan korbannya adalah para warga. Sekalipun reforma agraria sebagai salah satu program prioritas Nasional di era Pemerintahan Jokowi, namun fakta dilapangan “jauh panggan dari api”. Izin konsesi pengelolaan hutan yang diberikan kepada satu perusahaan acapkali merugikan warga. Misalnya terhadap PT. TPL, yang mana sejak tahun 1992 mendapat izin konsesi seluas 269.000 ha dan setelah delapan kali adendum pada tahun 2020 luas konsesi menjadi 167.912 ha.

Menjelang sore hari, pada pertemuan tersebut, dirumuskanlah langkah-langkah yang akan dilakukan oleh warga Sipolha dan Tambun Raya bersama dengan GKPS, UEM, KSPPM, dengan harapan warga menjalani kehidupan dan aktivitas pertanian kembali sebagaimana sebelumnya. Ada lima rencana tindak lanjut yang akan dilakukan pasca pertemuan ini, yakni: 1) Awal bulan Agustus warga akan mengadukan persoalan tersebut dengan menyurati Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup; 2) Dalam waktu dekat ini warga akan membentuk organisasi masyarakat dengan nama “SITAMBAR” atau Sipolha Tambun Raya; 3) Berkampanye lewat media nasional dan media sosial; 4) aksi damai; dan 5) penanaman pohon buah sebagai langkah meminimalisir ruang gerak kera dan babi hutan.

Kita berdoa kiranya semakin banyak pihak yang berempati terhadap perjuangan warga Sipolha dan Tambun Raya, dan harapan bersama, PT. TPL yang disinyalir telah merusak kehidupan para satwa liar ikut bertanggungjawab di dalamnya. (bgs/hks)