Renungan Mingguan/PA Namaposo GKPS, 4 Agustus 2024 (10 Set. Trinitatis)
Nas :Matius 21:12-17
Usul Doding :Aku Gereja, Kaupun Gereja
Thema :Rumah-Ku akan Disebut Rumah Doa
Tujuan : Agar Namaposo berani dan tegas memerdekakan diri dari keinginan duniawi
Aku Gereja yang Hidup
Tim Penulis
Saudara-saudari yang terkasih di dalam Yesus Kristus, ketika membaca nas renungan ini adakah di antara kita yang merasa kaget, shock melihat sikap ‘kemarahan’ dari Yesus? Mari kita bayangkan bagaimana suasana kekacauan yang terjadi saat kemarahan Yesus itu di Bait Suci. Yesus yang digambarkan sebagai pembawa damai dan kasih menunjukkan sikap yang tampak berlawanan dengan apa yang disematkan sebagai Maha Kasih, sabar dan Pengampun. Kemarahan ini tentu tidak pernah terpikirkan oleh siapa pun pada konteks saat itu, bahkan kemungkinan para murid juga memiliki rasa keterkejutan melihat sikap Yesus. Yesus menunjukkan sikap kemarahan-Nya oleh sebab penyalahgunaan Bait Suci yang seharusnya menjadi tempat beribadah, tetapi disalahfungsikan menjadi tempat berjualan bahkan dikatakan sebagai sarang penyamun. Benar saja, tidak ada yang pernah kepikiran terhadap suasana ‘kacau’ yang terjadi di Bait Suci itu. Penyalahgunaan ini mungkin sudah sering dilakukan bahkan setiap harinya, sehingga mereka semua sudah merasa aman dan biasa-biasa saja. Hal ini tentu sudah sangat berbeda jika kita membaca kembali teks-teks Perjanjian Lama yang sangat ‘menyucikan’ Bait Suci sebagai tempat penyembahan kepada Allah. Semakin lama, Yesus tidak melihat rasa penghargaan itu lagi sebab Bait Suci telah dialihfungsikan.
Sikap Yesus dalam nas ini patut diteladani sebab menunjukkan keberanian dan ketegasan-Nya dalam memelihara fungsi Bait Suci. Secara sederhana mungkin kita berpikir bahwa Yesus menghiraukan ‘keamanan-Nya’ dari amukan massa karena kekacauan dan keributan yang terjadi. Penyalahgunaan Bait Suci itu tidak hanya terjadi karena dijadikan sebagai tempat berjualan, akan tetapi juga banyak terjadi ketidak-adilan, diskriminasi, dan penindasan terhadap orang-orang yang berstatus sosial rendah-miskin. Kemarahan Yesus juga semakin bertambah karena kesedihan-Nya melihat para pemimpin agama, imam-imam kepala, dan ahli-ahli Taurat yang melegalkan serta memelihara penyalahgunaan Bait Suci itu. Tetapi inilah yang dilakukan Yesus sebagai isyarat dari otoritas-Nya sebagai Mesias dan utusan Allah di dunia, Sang Pemilik gereja. Hal ini diungkapkan-Nya dengan mengatakan “Rumah-Ku akan disebut rumah doa.” Perkataan ini dikutip oleh Yesus dari Yesaya 56:7 sebagai penyataan diri-Nya juga yang adalah Jurus Selamat, yang dinubuatkan oleh nabi-nabi.
Menariknya, saudara/i, rasa marah yang dialami Yesus tidak menyurutkan tujuan dan kesediaan-Nya untuk menolong orang yang membutuhkan pada saat itu. Di dalam ayat 14 kita mengetahui bahwa Yesus menunjukkan kasih pertolongan-Nya untuk menyembuhkan orang-orang yang buta dan orang-orang yang timpang. Melalui ini kita melihat bahwa Yesus hanya mengarahkan kemarahan-Nya pada para penjual, pemungut pajak, pemuka agama yang tidak bermoral. Akan tetapi tetap berpihak pada orang-orang yang ‘kecil,’ lemah, yang mengalami ketidakadilan, dan memiliki kebersihan hati. Tindakan penyembuhan yang dilakukan oleh Yesus lantas menambah kemarahan dari para pemuka agama yang hadir pada saat itu. Bagaimana tidak, mereka tentu sangat merasa dipermalukan, tersinggung, dan merasa disaingi. Kita banyak mengetahui kisah Yesus yang selalu ditentang dan dibenci yang justru menjabat sebagai ‘kaum rohaniwan’ pada masa itu. Orang yang mengasihi Yesus justru datang dari kelompok-kelompok sosial yang direndahkan, diperlakukan secara tidak adil, dan yang terasingkan.
Ketidakterimaan para pemuka agama semakin jelas ketika anak-anak yang berada di sana berseru dengan mengatakan “Hosana bagi Anak Daud.” Reaksi dari para pemuka agama atas perkataan anak-anak itu menggambarkan ketidaksetujuan mereka terhadap Yesus sebagai Mesias. Akan tetapi Yesus memberikan respons terhadap mereka dengan menyatakan “…dari mulut bayi-bayi dan anak-anak yang menyusu Engkau telah menyediakan puji-pujian,” hal ini dinyatakan Yesus dengan mengutip pernyataan Pemazmur di dalam Mazmur 8:3. Kesombongan yang dimiliki oleh para pemuka agama membuat mereka sulit menerima diri Yesus sebagai Mesias. Respons yang diberikan oleh Yesus secara tidak langsung membuat perbandingan antara anak-anak tersebut dengan para pemuka agama.
Yesus menyoroti sikap kerendahhatian anak-anak yang seharusnya menjadi gambaran kesederhanaan untuk dimiliki oleh setiap pengikut-Nya. Bahkan hal senada dapat kita maknai dari pernyataan Yesus di dalam nas lain, Lukas 19:40 ketika orang-orang Farisi meminta kepada Yesus untuk menyuruh para murid diam, sebab para murid bergembira atas mujizat yang dilakukan oleh Yesus dengan berseru “diberkatilah Dia yang datang sebagai Raja dalam nama Tuhan…” (Luk. 19:38). Akan tetapi, Yesus menegur orang Farisi tersebut dengan mengatakan “…jika mereka ini diam, maka batu ini akan berteriak” (Luk. 19:40). Berdasarkan pernyataan Yesus ini, kita dapat memaknai bahwa Yesus tidak memerlukan orang-orang yang ‘sombong rohani’ untuk memuji Dia, tetapi Yesus sangat mengasihi setiap orang yang memiliki ketulusan hati dan keimanan yang setia dalam menyembah-Nya. Sekalipun itu tidak didapatnya dari manusia, Yesus dengan kuasa-Nya dapat menjadikan batu-batu dan segala benda ciptaan untuk melakukannya. Keimanan dari anak-anak kecil yang berseru kepada Yesus memberikan gambaran tentang pengenalan kepada-Nya yang justru tidak ditemukan dari para pemuka agama, namun mereka berusaha untuk menentang-Nya.
Saudara-saudari yang dikasihi oleh Yesus Kristus, berdasarkan nas renungan kita hari ini kita diajarkan untuk memiliki sikap rendah hati dan ketulusan untuk memuji Dia. Perilaku menyimpang sebagaimana terjadi di dalam Bait Suci adalah hal yang tidak disukai oleh Yesus dan dapat menimbulkan kemarahan-Nya kepada kita, sebagai “gereja yang hidup.” Penggalan lirik dari nyanyian Kidung Jemaat 257, “Aku gereja, kau pun gereja, kita sama-sama gereja. Gereja bukanlah gedungnya, dan bukan pula menaranya; gereja adalah orangnya” memberikan pemahaman dasar bagi kita untuk memahami diri sebagai gereja yang hidup. Kita adalah gereja yang hidup, yang dikuduskan, dan yang dimampukan untuk menyebarkan kasih, melakukan perbuatan baik seturut dengan kehendak Tuhan.
Pengutusan yang diberikan kepada kita untuk melanjutkan pelayanan Yesus di dunia mengajarkan kita untuk tidak melakukan perilaku menyimpang, tetap menjaga kesucian dengan meneladani sikap Yesus. Godaan yang sering ada di dalam diri kita sebagai kaum muda adalah kebebasan dan perilaku-perilaku yang memberikan kepuasan sesaat dengan menuruti keinginan duniawi. Terkadang kita memiliki kebanggaan jika melakukan perbuatan menyimpang, kita merasa hebat ketika melakukan kejahatan, dan bahkan kita mengabaikan pengajaran iman sebagai dasar perilaku hidup keseharian kita. Yesus adalah Teladan yang sempurna untuk kita, kisah hidup Yesus yang membenci penyimpangan, membenci ketidakadilan, dan membenci kuasa duniawi seharusnya menjadi “alarm dan kompas” bagi kita untuk menuntun kita menjalani setiap aktivitas.
Kehadiran Yesus ke dunia untuk memulihkan relasi kita dengan Allah adalah dasar iman yang patut kita sadari, sebab kita tidak lagi mendapat murka Allah. Yesus telah memberi pengajaran dan memulihkan kesucian Bait Allah yang telah tercemar akibat perilaku manusia. Begitu juga kita yang telah disucikan, dipulihkan, dan dilepaskan dari belenggu dosa harus menunjukkan sikap hati dan perilaku pertobatan. Selanjutnya kita memohon tuntunan dan pertolongan dari Tuhan untuk kita dapat mengikut jejak-Nya melalui diri kita sebagai pembawa damai, menyebarkan kasih, dan pembawa pertolongan bagi setiap orang yang membutuhkan khususnya untuk melawan ketidakadilan. Yesus telah menunjukkan kasih itu melalui pengorbanan di kayu salib dan mujizat-mujizat pertolongan-Nya kepada banyak orang. Sebagai gereja yang hidup, sudah sepatunya kita melakukannya.
Saudara-saudari yang terkasih, sebagai namaposo GKPS perilaku menyebarkan kasih dan memberi pertolongan bagi orang lain seharusnya dapat kita maknai sebagai bentuk penghargaan dan ucapan syukur kita atas kasih Tuhan yang telah kita terima dalam hidup kita. Cerminan diri sebagai gereja yang hidup dan perpanjangan tangan Tuhan di dunia harus diwujudkan melalui perbuatan nyata, sebagaimana kita lakukan juga untuk Tuhan. Hal ini senada dengan apa yang diperintahkan oleh Yesus di dalam Matius 25:40 “…Aku berkata kepadamu, sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku.” Melalui perintah Yesus ini, kita dapat memahami bahwa setiap orang, bahkan yang dianggap hina sekalipun oleh orang lain, disebut sebagai saudara-Nya. Secara bersamaan, kita juga dapat memaknai pelayanan yang kita lakukan terhadap orang lain adalah sebagai cara kita untuk melayani Yesus. Hal ini, sangat menarik sebab Yesus mengajarkan kita untuk membangun relasi vertikal (hubungan kita dengan Tuhan) terwujud juga melalui relasi yang baik dalam gerak horizontal (hubungan kita dengan sesama manusia-ciptaan). Sebagaimana makna salib yang mengarah secara vertikal dan horizontal, begitu juga kita sebagai orang percaya-Kristen untuk turut berpartisipasi dalam relasi salib tersebut. Kiranya hidup kita berkenan bagi Allah dengan meneladani sikap Yesus Kristus melalui pertolongan Roh Kudus. Amin.