Ilustrasi gambar: https://www.cnnindonesia.com/

Menjadi tua adalah proses yang setiap manusia harus alami. Sejak lahir manusia terus berproses mulai lahir menjadi tua sampai kematian. Dalam proses ini selalu terjadi perubahan pada manusia termasuk lingkungan. Reaksi perubahan ini tidak ada yang sama. Ada dua reaksi menjadi tua. Yang pertama melihat masa tua menjadi hal yang menakutkan karena terjadi perubahan fisik/penurunan fungsi tubuh yang mempengaruhi keseluruhan hidup lansia, hidup monoton, terkurung di rumah. Aktifitas terbatas mengakibatkan lansia mengalami ketertekanan, tidak sejahtera dalam hidupnya (“Tetap Ceria di Usia Senja” oleh Richard I. Morgan). Kedua, melihat masa lansia sebagai masa yang menggembirakan karena bertahan dan berhasil dalam melewati setiap tahapan hidup, baik persoalan dalam dirinya maupun lingkungannya (“Di Atas 40 Tahun” oleh Kartono Muhammad). Hidup lansia seharusnya hidup yang menuju pemenuhan hidup (“Meniti Roda Kehidupan” oleh Henry J. M. Nouwen & Walter J. Gaffney). Persoalan utama bukan pada perubahan itu tetapi lebih kepada bagaimana lansia menyesuaikan diri, sehingga hidup dalam ketenangan dan contoh bagi anak cucu.

Golongan manakah yang disebut lansia?  Dalam UU no. 13 tahun 1998 Bab I pasal 1 tentang kesejahteraan seseorang yang telah mencapai usia 60 tahun disebut sebagai lansia. WHO sendiri memberi 3 tahapan lansia yaitu ederly age (60 – 75), old age (75 – 89), very old (90 tahun ke atas) (“Gerontology dan Progeria”oleh Yeniar Indriana). Kita tetap mengikuti UU no. 13 bahwa usia 60 tahun disebut lansia.

Salah satu dampak kemajuan adalah semakin meningkatnya harapan hidup seseorang semakin panjang. Akibatnya semakin banyak jumlah lansia. Data USA Bureau of the Celcius, diperkirakan Indonesia akan akan memiliki warga lansia terbanyak di dunia, antara tahun 1990-2025 yaitu 414 persen. Ini menempatkan lansia di Indonesia menempati urutan ke 4 di dunia. Data ini menunjukkan bahwa pertambahan lansia menimbulkan masalah baru dan harus ditangani dengan strategi yang khusus untuk mencapai kesejahteraan di masa lanjut usia. Persoalan lansia tidak boleh diabaikan karena lansia bagian secara keseluruhan kehidupan manusia, yang juga warga Negara Indonesia termasuk warga Gereja (baca GKPS juga mengalami penambahan jumlah lansia setiap tahun).   

Dalam kondisi yang dipaparkan di atas, maka pelayanan apakah yang tepat bagi lansia? Lansia harus mendapatkan pelayanan Konseling Pastoral dan Pendampingan Pastoral. Kedua hal ini berbeda. Konseling Pastoral dilakukan ketika lansia memiliki masalah dan harus didampingi, tetapi Pendampingan Pastoral adalah pendampingan seumur hidup lansia. Kedua hal ini harus dipersiapkan oleh GKPS. Diharapkan melalui Konseling Pastoral dan Pendampingan Pastoral lansia mendapatkan:

  1. Healing (kesembuhan), fungsi ini sangat dibutuhkan ketika lansia sedang mengalami kedukaan karena kehilangan atau merasa terbuang. Tekanan mental yang besar dapat memicu lansia mengalami sakit baik langsung maupun tidak. Dalam kondisi ini pendamping diharapkan dapat menolong dengan melakukan pendekatan sehingga lansia mau mengungkapkan persaannya yang tertekan.
  2. Sustaining (dukungan), fungsi ini membantu lansia yang “terluka” untuk bertahan dan berproses mengatasi keadaan menuju pemulihan atau penyembuhan dari hati yang terluka. Dukungan ini biasanya dilakukan dengan kehadiaran atau sapaan yang meneduhkan sehingga lansia dapat mengurangi penderitaan yang berat.
  3. Guiding (membimbing) ini dilakukan ketika lansia merasa kebingungan dalam mengambil menentukan pilihan atau keputusan. Lansia harus mengetahui setiap konsekwensi dari setiap keputusan yang diambil baik sekarang maupun yang akan datang. Keputusan tetap ada di tangan lansia dengan mengetahui segala risiko dari keputusan baik sekarang maupun masa yang akan datang. 
  4. Reconcilling (Rekonsiliasi), adalah upaya untuk membangun kembali hubungan yang rusak antara lansia dengan orang lain, khususnya dengan Tuhan. Karena ketika hubungan kita dengan sesama rusak itu juga berakibat pada hubungan kita dengan Tuhan. Rekonsiliasi ditempuh dengan cara pengampunan dan kedisiplinan. Hubungan yang rusak sering mengakibatkan penderitaan psikis maupun fisik. Karena itu pendamping harus menganalisa faktor yang mengancam dan merusak hubungan lansia dengan orang lain sehingga menemukan alternatif untuk memperbaiki hubungan tersebut. Pendamping harus menjadi orang yang berpihak tetap penengah dari semua pihak yang didampingi.
  5. Pengasuhan (ditambahkan oleh Clinebell) yaitu meyakinkan lansia untuk tetap beraktivitas dan mengembangkan potensi yang Tuhan beri. Proses ini berlangsung sepanjang hidup melewati lembah, puncak. Pengasuhan ini menyangkut aspek emosional, cara berfikir, motivasi dan kemauan, tingkah laku, kehidupan rohani dalam interaksi. Pendampingan ini memberi kesempatan bagi lansia untuk tetap bertahan dan berkembang dalam potensi yang dimiliki.
  6. Mengutuhkan (oleh Aart Van Beek), inilah fungsi utama karena mengutuhkan kehidupan lansia, sehingga masa lansia adalah masa kepenuhan/keutuhan hidup, dimana aspek fisik, sosial, mental dan spititual dipulikan dan disatukan dalam diri lansia. Aspek penting dalam mengutuhkan yaitu:
    • Menghidupkan pikiran seseorang dengan melibatkan sumber daya, pikran, perasaan, kreativitas dan intelektual.
    • Merevitalisasi tubuh, belajar dari pengalaman untuk menggunakan tubuh secara efektif serta penuh kasih sayang, termasuk mengurangi stress.
    • Memperbaharui dan memperkaya hubungan dengan orang lain dengan cara: menolong orang lain, semakin peduli dengan orang lain, menyembuhkan dan meningkatkan kualitas hubungan dengan orang lain.
    • Mempedalam hubungan dengan alam, melalui lingkungan.
    • Bertumbuh dan berelasi dengan lembaga lembaga yang lain jika memungkinkan.
    • Pendalaman dan vitalis hubungan dengan Allah dengan bermakna, terbuka, sukacita, yang diperoleh dalam keterikatan dengan Roh Allah. Sehingga terjadi pemberdayaan yang kreatif

Berangkat dari pemikiran ini maka pendampingan dan konseling pastoral dapat dilakukan oleh semua orang, khusunya keluarga yang memiliki lansia di dalamnya. Motivasi utama adalah melayani manusia secara utuh sesuai dengan teladan Yesus. Lebih jauh lagi Hoffman mengatakan bahwa semua kegiatan pendampingan dan konseling pastoral diarahkan menjadi sarana karunia Allah. Dengan demikian maka kegiatan pendampingan dan konseling pastoral adalah keinginan untuk menolong diri sendiri dan orang lain menuju pengutuhan secara mental, fisik, sosial dan spiritual. Dapat disimpulkan bahwa kegiatan pendampingan dan konseling pastoral adalah kegiatan yang sering dilakukan manusia disadari atau tidak untuk menolong diri sendiri maupun orang lain. Cara ini adalah upaya pengembangan manusia, khususnya lansia seutuhnya.

Beberapa hal yang dapat dilakukan GKPS untuk pendampingan dan konseling pastoral adalah:

  1. GKPS sebaiknya melakukan pembinaan/pelatihan bagi keluarga yang memiliki lansia untuk dipersiapkan menjadi pendamping bagi lansia dalam keluarga.
  2. GKPS juga sebaiknya mempersiapkan pembinaan / pelatihan untuk Fulltimer, Majelis Jemaat bahkan Jemaat yang akan lansia (sekitar umur 55 tahun ke atas) agar siap menjadi lansia.
  3. GKPS membuka seluas luasnya keikutsertaan lansia dalam pelayanan gereja dan gereja juga tetap menjadi pendamping bagi lansia seumur hidup.
  4. Menghidupkan adat “mambere na malum” sebagai cara kita menghargai, menghormati dan memahami orang Simalungun tentang lansia. Melalui adat “mambere na malum” disebutkan salah satu fungsi lansia adalah pendoa dan tempat meminta nasihat.  Fungsi ini menjadikan lansia memiliki tempat tertinggi dan dihormati dalam keluarga, sehingga lansia merasa dihormati, dihargai dan utuh dalam keluarga.

Menurut Clinebell pendampingan dan konseling pastoral keluarga kepada lansia akan meng-utuhkan kehidupan lansia. Maka kita akan sampai kepada pelaksanaan firman Tuhan pada Titah ke 5: “Hormatilah ayah dan ibumu supaya lanjut umurmu di tanah yang dijanjiakan Tuhan kepadamu”.

Penulis: Pdt. Nirmala Sinaga, M.Si