Nas : Lukas 22:14-20
Tema : Yesus Makan Paskah Bersama dengan Rasul-rasul-Nya
Shalom, saudara-saudara muda yang dikasihi Tuhan!
Puji Tuhan! Hari ini kita masih bisa beribadah, memuji, dan mendengar suara-Nya. Saya percaya, bukan kebetulan kalau kamu hadir di tempat ini. Karena Tuhan mau berbicara sesuatu yang pribadi buat hidupmu hari ini. Saudara, pernahkah kamu memperhatikan… betapa banyak kisah berharga yang dimulai di meja makan? Kalau kamu ingat, di rumah kita pun meja makan bukan sekadar tempat makan. Di sanalah ada tawa keluarga, ada cerita, kadang ada air mata, tapi juga ada cinta. Di meja makan, hubungan dibangun — bukan karena menunya, tapi karena ada hati yang saling terbuka. Dan hari ini, kita akan duduk di sebuah meja yang jauh lebih bermakna dari semua meja di dunia. Meja itu ada di sebuah ruangan sederhana di Yerusalem,
di mana Yesus duduk bersama dengan murid-murid-Nya untuk makan Paskah.
Bayangkan suasananya, saudara, Malam itu tenang, tapi tegang. Lilin-lilin kecil menyala, angin lembut bertiup dari jendela, dan Yesus menatap satu per satu murid-Nya: Petrus — yang akan menyangkal Dia tiga kali.
Dan Yudas — yang sebentar lagi menjual Dia dengan ciumana. Dan di tengah semua itu, Yesus berkata, “Aku sangat rindu makan Paskah ini bersama-sama dengan kamu sebelum Aku menderita.” (Lukas 22:15)
Saudara, kata “rindu” di situ bukan kata biasa.
Itu bukan sekadar “ingin.”
Itu adalah ungkapan hati Yesus yang dalam,
rindu untuk berbagi kasih, bahkan di tengah pengkhianatan.
Rindu untuk hadir, bahkan di tengah kesakitan.
Rindu untuk menyatakan cinta, bahkan di saat Ia tahu akan ditinggalkan.
Di sini kita belajar sesuatu yang luar biasa:
Bahwa kasih Yesus tidak pernah berhenti karena luka, dan tidak pernah berubah karena manusia.
Dan hari ini, Yesus berkata hal yang sama kepada kita Pemuda GKPS: “Aku juga rindu makan bersama denganmu.” Ya, dengan kita — anak muda yang sering jatuh, sering ragu, sering jauh dari Tuhan.
Tapi Tuhan tetap berkata, “Aku mau duduk bersamamu.” Bukankah itu luar biasa? Hari ini kita akan belajar dari Lukas 22:14–20, tentang sebuah momen yang begitu indah… tapi juga begitu mengharukan: Yesus makan Paskah bersama dengan rasul-rasul-Nya.
- Yesus tahu Ia akan disakiti, tapi Ia tetap mau makan bersama mereka
Saudara, coba bayangkan. Ini malam terakhir Yesus sebelum disalib. Ia tahu bahwa sebentar lagi, Ia akan menderita, dipukul, diludahi, bahkan ditinggalkan. Tapi apa kata-Nya di ayat 15? “Aku sangat rindu makan Paskah ini bersama-sama dengan kamu sebelum Aku menderita.” Luar biasa, bukan? Yesus tahu penderitaan sedang menanti-Nya, tapi yang ada di hati-Nya justru kerinduan untuk makan bersama murid-murid-Nya. Saudara, di meja itu ada siapa? Ada Petrus yang nanti menyangkal Dia. Ada Yudas yang nanti mengkhianati Dia. Tapi Yesus tetap duduk satu meja dengan mereka. Inilah kasih yang sejati. Kasih yang tidak didasarkan pada kelayakan orang lain, tapi pada hati yang rela mengampuni. Mungkin di antara kita ada yang pernah disakiti teman, dikhianati sahabat, atau dilupakan orang yang dulu dekat. Kalau Yesus bisa duduk satu meja dengan pengkhianat, maka kita juga bisa belajar mengasihi meski pernah terluka. Yesus tidak menolak siapa pun, Ia justru mengundang siapa pun. Dan hari ini, Yesus masih mengundang kita pemuda untuk duduk di meja-Nya. “Mari, Aku mau makan bersama denganmu.”
- Yesus mengajarkan makna persekutuan yang sejati
Perhatikan ayat 17: “Kemudian Ia mengambil cawan, mengucap syukur dan berkata: Ambillah ini dan bagikanlah di antara kamu.” Yesus berkata: “Bagikanlah.” Artinya: iman itu tidak bisa dijalani sendirian. Persekutuan adalah bagian dari iman yang hidup. Saudara muda, dunia sekarang sedang menanamkan budaya individualistik “yang penting gue happy, yang penting urusan gue.” Tapi Yesus berkata: “Tidak bisa! Kamu harus saling berbagi.” Karena kasih Tuhan tidak hanya dirasakan, tapi juga dibagikan.
Kalau kamu diberkati, bagikan.
Kalau kamu dihibur, hiburkan orang lain.
Kalau kamu diampuni, belajarlah mengampuni.
Iman yang sejati bukan hanya percaya Yesus di hati, tapi juga menghidupi Yesus di relasi. Yesus mau agar meja Paskah menjadi lambang persekutuan kasih – tempat orang yang berbeda bisa duduk bersama, saling menguatkan, dan saling menerima. Jadi, jangan jalani iman sendirian. Datang ke ibadah pemuda, ikut persekutuan, jalin komunitas rohani. Karena iman akan cepat layu kalau sendirian, tapi akan subur kalau bersama-sama.
- Yesus menyerahkan hidup-Nya demi kita
Ayat 19–20 adalah puncaknya: “Inilah tubuh-Ku yang diserahkan bagi kamu… Inilah cawan, perjanjian baru oleh darah-Ku yang ditumpahkan bagi kamu.” Saudara, di sini Yesus tidak hanya memberi pengajaran, tapi memberi diri-Nya sendiri. Tubuh dan darah-Nya menjadi lambang kasih yang paling dalam. Yesus berkata, “Aku tidak hanya bicara tentang cinta. Aku menunjukkan cinta dengan pengorbanan.” Inilah inti Injil! Bahwa Yesus rela menderita supaya kita tidak binasa. Ia rela mati supaya kita hidup. Ia dicela supaya kita dimuliakan. Anak muda, dunia hari ini mengajarkan cinta yang instan: kalau gak cocok, tinggal. Kalau gak bahagia, tinggalkan. Tapi Yesus menunjukkan cinta yang sejati itu bertahan, berkorban, dan tetap setia. Kalau Yesus rela menyerahkan hidup-Nya untuk kita, maka seharusnya kita pun menyerahkan hidup kita untuk Dia. Bukan dengan mati, tapi dengan hidup bagi Kristus. Hidup yang suci, jujur, rendah hati, dan jadi berkat bagi orang lain.
Penutup / Kesimpulan Khotbah
Saudara-saudara muda yang dikasihi Tuhan, malam itu di ruang atas Yerusalem ada satu meja sederhana.
Meja itu tidak dihiasi emas, tidak dipenuhi makanan mewah, tapi di atasnya ada sesuatu yang jauh lebih berharga:
- Kasih
- Pengampunan
- Dan pengorbanan.
Yesus tahu ini adalah makan malam terakhir-Nya. Tapi Ia tidak menggunakan waktu itu untuk menuntut,
Tidak untuk menyalahkan, Melainkan untuk memberi. Memberi roti, lambang tubuh-Nya. Memberi anggur, lambang darah-Nya. Dan memberi hati-Nya — untuk kita semua. Di meja itu Yesus berkata, “Inilah tubuh-Ku yang diserahkan bagi kamu… inilah darah-Ku yang ditumpahkan bagi kamu.” Dan sampai hari ini, saudara, suara itu masih terdengar. Masih sama lembutnya, masih sama penuh kasihnya: “Aku melakukan ini untukmu.” Mungkin kamu datang hari ini dengan hati yang berat. Mungkin kamu merasa seperti Petrus pernah gagal. Atau seperti Yudas — pernah menyesal. Atau seperti murid-murid yang lain pernah lari dari Tuhan. Tapi dengar ini: Yesus tetap mengundangmu duduk di meja-Nya. Ia tidak berkata, “Kamu tidak layak.” Ia berkata, “Datanglah. Aku sudah menebusmu.” Saudara muda, inilah inti dari Paskah itu: Bahwa kasih Yesus selalu lebih besar daripada dosa kita, dan pengampunan-Nya selalu lebih kuat daripada masa lalu kita.
Jadi, apa yang harus kita lakukan hari ini?
- Mari datang kembali ke meja Yesus. Datang bukan dengan kesombongan, tapi dengan kerendahan hati. Datang bukan karena kita suci, tapi karena kita rindu disucikan.
- Mari bawa kasih itu keluar dari gereja. Biarlah setiap pertemuan, setiap persekutuan, setiap hubungan kita mencerminkan kasih yang sama – kasih yang rela berkorban, mengampuni, dan mempersatukan
- Dan mari hidup untuk Dia yang sudah menyerahkan segalanya bagi kita. Kalau Yesus sudah memberikan seluruh hidup-Nya untuk kita, maka tidak ada alasan bagi kita untuk hidup setengah-setengah bagi-Nya.
Saudara, meja itu… masih terbuka sampai hari ini. Mari datang kepada-Nya — bukan dengan kesempurnaan, tapi dengan hati yang mau diubah. Biar hari ini, hidup kita menjadi seperti roti yang dipecah, seperti anggur yang dicurahkan, Menjadi berkat bagi dunia. Amennnn…..