
Sumber gambar: Pixabay
Pendahuluan
Secara umum kita bisa merasakan betapa sulitnya membangun rumah tangga di awal pernikahan, dua menjadi satu. Dua pribadi dipersatukan dalam rumah tangga, yang berasal dari latar belakang yang berbeda. Perbedaan ini menimbulkan benturan yang akhirnya muncul konflik dalam keluarga, dan konflik ini juga kadang berulang sehingga awalnya sifatnya sederhana jadi berubah menjadi masalah yang besar. Apalagi setiap konflik tidak diselesaikan dengan benar, konflik ini bisa membuat suami istri semakin tidak rukun. Ada yang membiarkan konflik itu berlalu begitu saja tanpa penanganan, tidak adanya keinginan untuk menyelesaikan dengan baik, suami istri masing-masing egois. Padahal munculnya konflik justru menjadi pembelajaran untuk saling mengoreksi diri yang akan melahirkan komitmen, untuk memperbaiki hal-hal tertentu di hari yang akan datang.
“Cinta” merupakan syarat berlangsungnya kehidupan pernikahan. Tanpa cinta, pernikahan akan mati, yang tersisa adalah bangunan pernikahan belaka. Ibarat rumah kosong tanpa penghuni, yang perlalahan-lahan akan dirusakkan oleh kekosongan itu sendiri.
Pada banyak pernikahan, hilangnya cinta bukan dikarenakan oleh perbuatan penghianatan atau ketidaksetiaan yang dilakukan baik suami maupun istri. Ada yang berpendapat bahwa ungkapan cinta itu diperlukan pada masa pancaran, di masa pernikahan itu tidak perlu. Kita sendirilah yang memensiunkan cinta dari rumah tangga kita karena kita telah menyimpulkan bahwa masa bakti cinta telah berakhir seiring dengan dimulainya kehidupan bersama.
Pemulihan dalam Pernikahan
Kesadaran akan adanya masalah dalam pernikahan, maka perlu ada pemulihan hubungan. Ada beberapa hal yang harus kita lakukan untuk memulihkan hubungan, antara lain:
- Ketika konflik pernikahan muncul maka langkah pertama yang perlu diambil adalah introspeksi diri (2 Korintus 13:5), hal ini memang sering sulit untuk dilakukan, kecenderungan kita adalah untuk membenarkan diri dan menyalahkan orang lain. Bisa kita mengingat bagaimana kalau sebuah kesalahan terjadi, apa yang kita lakukan ? Membela diri dan mencari celah kesalahan pasangan kita. Seolah-olah kesalahan yang kita lakukan itu pemicunya adalah pasangan kita. Kita menuduhnya bahwa dialah penyebab masalah ini. Kalau kita mau jujur, seandainya pasangan kita punya kesalahan, apakah harus di atas kesalahan itu kita melakukan kesalahan baru. Wajarkah seorang memakai kesalahan pasangan mendorong kita untuk melakukan kesalahan baru. Bukankah merupakan tanggung jawab kita untuk mengatasi masalah dan memperbaiki kesalahan pasangan kita. Jika seperti ini yang terjadi, berarti kita menyerang pasangan kita. Orang yang merasa diserang dan dikritik biasanya menjadi orang yang membentengi diri, sehingga komunikasi selanjutnya terhambat, sebaliknya, ketika orang merasa dihargai dan dikasihi dan kebaikan mereka diperhitungkan, maka komunikasi bisa lancar dan pasangan akan mempercayai itikad baik kita. Jadi, ketika kita menyampaikan kebenaran dalam kasih tentang apa yang salah, maka dia bisa menangkap bahwa kita mutlak dalam mengatasi konflik. Perasaan disakiti menghasilkan kata-kata yang kasar dan kata semacam itu malah menambah sakit hati. Biasanya merenungkan suatu hal secara matang dan berdoa sebelum berbicara, supaya rantai siklus konflik tersebut dapat terpecahkan. Komunikasi yang baik dapat disampaikan jika mengingat kita perlu memperlakukan orang lain sebagaimana kita ingin diperlakukan ( Lukas 6:31).
Masalah yang sudah selesai, diusahakan untuk diungkit ketika masalah baru muncul, karena hal ini akan memunculkan masalah baru dan penanganan masalah tidak fokus pada masalah yang sedang terjadi. Mengungkit masalah lama, berarti membiarkan masalah semakin melebar tanpa batas, yang pada akhirnya kesulitan untuk mengatasinya.
- Perlunya kesadaran bahwa setiap orang memiliki kelebihan dan kekurangan. Kita manusia yang tidak sempurna dan memiliki keterbatasan. Kesadaran akan hal ini akan menuntun kita bahwa pasangan kita juga adalah manusia yang tidak sempurna, yang memiliki keterbatasan, dia juga punya kelebihan dan kekurangan. Dengan kesadaran ini maka akan menolong kita untuk bisa menerima keterbatasan kita dan keterbatasan pasangan kita. Saling menerima dan saling melengkapi antara yang satu dengan yang lain. Menghargai setidak-tidaknya merupakan langkah awal atau lebih tepat lagi tindakan nyata dari mengasihi. Memakai berbagai kesempatan untuk mengungkapkan kepadanya bahwa kita bersyukur sebab Tuhan telah memberikan dia sebagai suami atau istri kita. Dia begitu bernilai bagi kita sehingga kita bersyukur bahwa dia berada di dalam hidup kita. Kita bisa menunjukkan penghargaan kita melalui ucapan terima kasih, sentuhan lembut atau melakukan sesuatu yang disukainya.
- Mengingat identitas (siapakah aku?), akan menolong kita untuk bersikap sesuai dengan identitas kita. Kita adalah pengikut Kristus, kita sudah banyak menerima berkat dari Tuhan, kita telah diselamatkan oleh Yesus Kristus. Selaku pengikut Kristus, kita juga belajar meneladani Kristus yaitu mengampuni antara yang satu dengan yang lain. Mengapa Yesus mengampuni kita, karena Yesus sangat mengasihi kita. Demikian juga kita diingatkan bahwa pasangan kita adalah orang yang kita cintai dan kasihi. Mari kita merenungkan kembali bagaimana kita mencintai pasangan kita sebelumnya. Kalau kita mengasihi pasangan kita, firman Tuhan berkata, kasih menutupi banyak sekali dosa (1 Petrus 4:8). Marilah setiap pasangan meminta pertolongan kepada Tuhan untuk tetap kuat menghadapi setiap persoalan dalam rumah tangga. Di dalam Tuhan, setiap masalah bisa diselesaikan. Berarti hidup beriman kepada Tuhan akan menolong kita membangun rumah tangga kita.
- Orang yang kita hargai biasanya adalah orang yang kita kasihi : seperti barang berharga, kita mencoba menjaga dan Sama dengan itu, orang yang kita sayangi adalah orang yang kita hargai pula. Kita mengasihinya sebab kita menghargainya. Memang cinta jauh lebih besar dari pada nilai atau penghargaan, tetapi keberadaan dan besarnya cinta dapat diukur dengan keberadaan dan besarnya penghargaan yang kita berikan pada orang yang kita cintai. Firman Tuhan dalam Efesus 5:28-29 menegaskan keparalelan antara cinta dan penghargaan. “siapa yang mengasihi istrinya, mengasihi dirinya sendiri. Sebab tidak pernah orang membenci tubuhnya sendiri tetapi mengasuhnya dan merawatinya …”. Mengasihi suami atau istri berisikan atau setidak-tidaknya dimulai dengan menghargai suami atau istri dan kita menghargai suami atau istri dengan cara “mengasuh” dan “merawatinya”.
Cinta di awal pernikahan, cinta yang hangat dan menyenangkan. Cinta harus tetap ada dan bersemi dalam pernikahan. Pertanyaannya sekarang ialah: “bagaimanakah kita bisa merawat dan mempertahankan cinta itu? Prinsip yang pertama dan terutama dalam mengatasi konflik dalam hubungan terutama dalam hubungan pernikahan adalah saling mengasihi sebagaimana Kristus telah mengasihi kita (Yohanes 13:34) dan telah memberi dirinya bagi kita. Efesus 5:21, 6:4 menggambarkan hubungan keluarga, kita perlu saling mengasihi satu sama lain dalam kasih dan mendahulukan kepentingan orang lain diatas kebutuhan kita. Bersikaplah dengan lemah lembut. Perlakuan kasar bukan saja meninggalkan luka pada si penerimanya, melainkan juga merusak penghargaan kita terhadapnya. Ada prinsip yang berlaku disini: “semakin lembut kita memperlakukannya, semakin bernilai dia di hadapan kita. Semakin kasar kita memperlakukannya, semakin rendah dia di mata kita”. Upayakan supaya jangan sampai kita melanggar batas kepatutan dalam emosi kita. Bagaimanapun juga, perlakuan kita akan mempengaruhi penilaian kita terhadap pasangan kita.
Kesimpulan
Pernikahan yang dibangun di atas dasar iman dan cinta, maka pernikahan tersebut akan berdiri kokoh sampai maut memisahkan mereka berdua. Kita juga mennyadari bahwa kita terus menerus belajar dalam pernikahan, karena tidak ada pernikahan yang terlepas dari masalah. Ketika masalah itu muncul, maka dibutuhkan penanganan yang baik dan benar. Kalau masalah dalam pernikahan tidak bisa lagi diselesaikan berdua, alangkah baiknya pasangan suami istri ini mendapat konseling keluarga. (bgs/hks)
Pdt. Menny Rosita Purba, M.Th
Pendeta GKPS Resort Salemba Distrik VII Jakarta