
Para peserta GKPS Marguru Tahap II mendengar pemaparan Seni Mengatur Kesehatan Mental Pemimpin Kristen: Integrasi Perspektif Psikologi dan Teologi, yang disampaikan Dr. Julianto Simanjutak pada Senin (3/3/2025) malam. (Foto: Cindy Banjarnahor)
PEMATANG SIANTAR. GKPS.OR.ID. Kesehatan mental adalah isu yang banyak dibahas akhir-akhir ini, terutama setelah ditemukan banyaknya kasus gangguan kesehatan mental yang terjadi di kalangan orang-orang yang berusia muda. Walau demikian isu kesehatan mental di gereja kurang mendapat porsi yang besar. Gereja masih fokus bicara dogma, liturgi, model persekutuan, dan lain sebagainya. Padahal gereja yang sehat salah satu penampakannya adalah kesehatan mental jemaat dan para pelayanannya.
Pendapat tersebut dikemukakan Dr. Julianto Simanjuntak, seorang konselor sekaligus founder Lembaga Konseling Keluarga Kreatif (LK3) saat menyampaikan materi Seni Mengatur Kesehatan Mental Pemimpin Kristen: Integrasi Perspektif Psikologi dan Teologi, di kegiatan GKPS Marguru Tahap II sesi III, yang berlangsung lewat zoom meeting pada Senin (3/3/2025) pukul 19.30 wib.
Menutur Dr. Julianto saat ini profesi psikolog dan konselor paling banyak dicari. Selain sudah diakui sebagai profesi oleh negara, praktik layanan konseling juga mendatangkan income bagi para psikolog maupun konselor. Seperti lembaga yang dipimpinnya, pasca pandemi covid-19, LK3 harus menambah jumlah psikolog dan konselor sebab semakin banyak klien yang membutuhkan pelayanan konseling. Klien berani membayar mahal untuk kesehatan mentalnya dan juga rela mengantri 2 bulan hanya untuk mendapatkan pelayanan konseling.
Dihadapan 100-an peserta, Julianto Simanjuntak mengungkapkan bahwa kesehatan mental diwariskan keluarga asal.

“Keluarga kami dikategorikan keluarga yang terganggu kesehatan mentalnya. Mulai dari papa, saya dan saudara serta dua orang anak saya. Gangguan kesehatan mental yang saya dan keluarga alami berbeda satu dengan yang lainnya. Ada yang berupa depresi, adiksi (kecanduan terhadap suatu zat atau prilaku tertentu) dan komunikasi buruk. Pengalaman keluarga kami ini pun menyadarkan saya bahwa kesehatan mental merupakan warisan keluarga asal,” tutur pria yang sudah 36 tahun menekuni dunia konselor ini.
Ditambahkan Julianto, anak-anak akan mengadopsi emosi dari orang tuanya, dari ayah dan ibunya. Anak-anak akan mengcapturenyadan akan mengulangnya ketika menjadi orang tua. Alkitab sendiri pun mencatat bagaimana beberapa tokoh di Alkitab yang mewariskan kesehatan mental yang buruk bagi generasi penerusnya, seperti Saul, Daud dan Salomo.
Paparan selanjutnya Julianto menerangkan bahwa konselor dan konseling pada awalnya merupakan milik gereja. Sehubung gereja mengabaikan salah satu tugas penting ini, jemaat pun pada akhirnya mencari psikolog untuk menyembuhkan mentalnya. Satu hal yang menggelitik, gereja membuka layanan konselor secara gratis namun tak ada jemaat yang tertarik dan lebih memilih membayar mahal untuk berobat ke psikolog.

Alumnus Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) Salatiga ini pun mengajak para peserta GKPS Marguru Tahap II untuk mendorong kembali GKPS di tingkat lokal hingga tingkat sinode, memfokuskan kembali pelayanan pada bidang konseling dengan mempersiapkan para pelayanannya menekuni dunia konselor, dan membentuk lembaga khusus yang pelayanan utamanya adalah konseling. Apalagi angka gangguan jiwa di Indonesia cukup tinggi sebesar 14 persen, dan sebagian besarnya depresi.
Julianto juga menyoroti kesehatan mental para Pendeta dan keluarga. Dari studi yang dilakukannya ada tiga hal yang dapat menganggu kesehatan mental Pendeta dan keluarganya, yakni jabatan, kesibukan, dan ambisinya. Julianto pun menawarkan kepada Litbang GKPS sebagai penyelenggara GKPS Marguru agar terus menyuarakan perlunya mengasesmen para pelayan GKPS, khususnya Pendeta dan Penginjil, dengan bantuan psikolog maupun konselor atau juga dengan mengusulkan adanya satu lembaga di kantor sinode GKPS yang khusus melakukan pelayanan konseling. Ditambahkan Julianto, lembaga itu nantinya akan dipimpin oleh mantan Ephorus ataupun Sekjend GKPS.
Dengan kesehatan mental yang baik akan berdampak pada pelayanan Pendeta dan Penginjil yang baik pula, apalagi dengan dipersiapkannya seluruh Pendeta dan Penginjil sebagai konselor yang baik di tengah-tengah jemaatnya.
Masih menurut Julianto, banyak faktor yang menyebabkan kesehatan mental warga jemaat terganggu. Jemaat membutuhkan penolong untuk menyembuhkan kesehatan mentalnya. Ia pun mengajak Pendeta dan Penginjil yang hadir pada sesi ini untuk menolong jemaatnya, memanfaatkan identitas sebagai konselor yang melekat dengan jabatan pelayanannya, dimana identitas ini sebenarnya tak dimiliki banyak orang.

Salah satu metode yang ditawarkan pemateri untuk menolong orang depresi adalah dengan menggunakan V.E.N.T dari Dr. Toke. Validate (V): Mengakui perasaan orang lain. Empahtize (E): Menunjukkan bahwa kita memahami dan merasakan emosi mereka, Normalize (N): Membantu melihat bahwa masalahnya juga dialami orang lain dan ada solusinya, Teach (T): Mengajarkan sesuatu untuk menguatkan teman.
Diakhir paparannya, pria yang mahir mendengar curhatan klien dan sahabatnya ini menyimpulkan bahwa konseling penting namun bukan segala-galanya dalam pelayanan. Konseling merupakan jembatan bagi siapa saja untuk mengenal Injil, dimana saat para pelayan memberikan kedua telinganya untuk mendengarkan, jemaat pun merasa Tuhan hadir dan mendengarkan mereka. Sebab yang dibutuhkan jemaat bukan sosok yang menghakimi melainkan yang mendengarkan.
Gaya penyampaian yang bersahabat membuat para peserta tertarik dengan beberapa masukan-masukan yang telah disampaikan Julianto. Dua diantaranya Pdt. Sardo Saragih, yang bermimpi suatu saat GKPS memiliki lembaga konseling sendiri yang dinahkodai Pendeta maupun Penginjil; dan Andri Vincent yang sepakat dengan narasumber bahwa para pelayan di GKPS memiliki identitas sebagai konselor, dan ini menjadi modal besar mendukung terwujudnya pelayanan parjumatanganan.
Sebelum sesi ke tiga ditutup dalam doa, Pdt. Fran Purba sebagai moderator memberi kesempatan kepada Dr. Julianto Simanjuntak menyampaikan closing statemen nya.
“Saya senang GKPS melalui Litbangnya peduli dengan kesehatan mental. Saya berharap agar para Pendeta dan Penginjil terus membangun identitasnya sebagai konselor, sebagai orang yang dipercaya membangun hubungan yang baik dengan jemaatnya, serta mempersiapkan karir menjelang masa pensiun sebagai konselor, sebab kedepan konselor akan menjadi profesi yang dibutuhkan banyak orang”. (hks/bgs)
Pewarta: Pdt. Bima Gustav Saragih
Foto: Cindy Banjarnahor