
St. Prof. Dr. Hisarma Saragih menyampaikan paparan materinya dalam GKPS Marguru sesi ke-15, yang dilangsungkan secara virtual pada Senin (4/11/202) malam. Foto: Litbang GKPS
PEMATANG SIANTAR. GKPS.OR.ID. GKPS Marguru sesi ke-15 telah berlangsung dengan baik pada Senin (4/11/2024) malam. Di sesi ini Litbang GKPS mengundang St. Prof. Dr. Hisarma Saragih, seorang akademisi dari Universitas Simalungun (USI) Pematang Siantar.
Topik yang dipersiapkan Litbang GKPS untuk disampaikan St. Prof. Hisarma pada GKPS Marguru Sesi ke-15 ini adalah “Peran Budaya Simalungun dalam Kemajuan GKPS: Perspektif Sejarah, Identitas dan Kebanggaan Ber-GKPS”. Sejarawan yang juga aktif di pelayanan GKPS sebagai Ketua/Pengantar Jemaat GKPS Estomihi Resort Setia Negara ini pun mempersiapkan makalah berjudul “Dinamika Penguatan Identitas Etnik Simalungun (Hasimalungunon) dibalik berdirinya GKPS”.
Mengawali pemaparannya, St. Prof. Dr. Hisarma menjelaskan yang disebut Simalungun dalam sudut pandang sejarah adalah yang kediamannya di kabupaten Simalungun. Ditambahkan Direktur Pascasarjana USI Pematang Siantar ini, wilayah Simalungun di dalam sejarahnya terdiri dari laut tawar-laut asin. Laut tawar yaitu daerah Danau Toba dan laut asin yaitu Selat Malaka (Batubara dan Pantai Cermin, dan pada mayoritas orang Simalungun di daerah tersebut bukanlah warga GKPS). St. Dr. Prof. Hisarman pun menyimpulkan gambaran wilayah Simalungun terdahulu cukup luas sekali bukan seperti kabupaten Simalungun saat ini.
Lebih lanjut, Prof. Hisarma Saragih menjelaskan ahap, marga, sahap, dan kekerabatan, merupakan empat identitas Simalungun.
“Ada empat identitas Simalungun, yakni: mereka yang mengaku sebagai “halak Simalungun” dan memiliki “ahap Simalungun”; memiliki 4 klan (marga) pokok yaitu: Sinaga, Saragih, Damanik, dan Purba atau yang disebut SISADAPUR, meski dikemudian hari semakin berkembang marga Simalungun, tetapi tetap dihubungkan dengan keempat marga tersebut; Bahasa (sahap) Simalungun; Kekerabatan tolu sahundulan lima saodoran”, terang St. Hisarma Saragih.
Berbicara tentang GKPS, St. Prof. Dr. Hisarma Saragih menyimpulkan bahwa GKPS adalah penyangga pelestarian dan penguatan identitas etnik Simalungun.
“Bagaimanapun GKPS masih memiliki “S” yaitu “Simalungun” dan dapat dilihat juga bahwa meskipun semakin banyak organisasi budaya, cagar budaya di pemerintahan kabupaten dan lain sebagainya, GKPS tetap sebagai sikahanan (istilah yang dipakai oleh Pdt. Parulihan Sipayung dalam sesi tersebut) untuk melestarikan GKPS. Hal ini semakin diperkuat dengan tetap adanya ibadah berbahasa Simalungun meski digerus oleh zaman untuk berbahasa nasional hingga internasional, ibadah inkulturatif, tortor di GKPS untuk acara-acara tertentu. Oleh karena itu semakin jelas bahwa GKPS mampu menghadirkan nuansa etnisitas (identitas) membangun Simalungun, mampu memanggil ke kampung halamannya di Simalungun”, terang St. Hisarma.
Mengakhiri paparannya, St. Prof. Dr. Hisarma Saragih menjelaskan sekaligus menawarkan supaya selain memiliki program strategis dalam pembangunan mental dan spiritual, GKPS juga ikut serta membangun budaya (acara kebaktian masih menggunakan musik, bahasa, sastra, busana, teknologi asli), dan GKPS memiliki motivasi untuk bekerja maksimal bukan hanya secara kolektif namun juga secara individu, untuk kemajuan etnisnya dengan tetap memerhatikan identitas etnis hasimalungunon dalam melaksanakan pembangunan warganya.
Pdt. Parulihan Sipayung, Ph.D selaku moderator dalam GKPS Marguru sesi ke-15 membuka dua termin diskusi dan ditambah respon di kolom komentar. Para peserta GKPS Marguru pada sesi diskusi mengakui bahwa gelaran GKPS Marguru semakin menambah wawasannya mereka tentang GKPS dan identitas Simalungun.
Beberapa peserta yang berasal dari wilayah yang berbeda-beda mengemukakan tentang peran gereja (baca: GKPS) yang semakin minim melestarikan budaya Simalungun. Seperti yang diutarakan bapak D. Sinaga. Ia melihat bahwa GKPS di daerah perkotaan cenderung fleksibel baik dalam menjangkau keluarga kaum muda yang tidak memahami bahasa Simalungun maupun warga GKPS yang bukan Simalungun.
“Untuk menjangkau keluarga muda yang tidak memahami bahasa Simalungun dan juga warga yang bukan berlatarbelakang Simalungun, GKPS di perkotaan mengadakan ibadah dwi bahasa, dimana khotbah yang disampaikan bercampur bahasa Indonesia meski peribadatannya berbahasa Simalungun. Hal ini tentunya akan mengerus eksistensi budaya dan identitas Simalungun”, ucapnya.
Salah pertanyaan yang menarik datang dari Ibu S. K. Damanik. Ia menanyakan terkait peran gereja ketika ada orang yang memilih untuk berada di luar Simalungun?
St. Prof. Hisarma merasa senang bahwa peserta marguru aktif dan memiliki kecintaan yang sama untuk melestarikan identitas Simalungun melalui GKPS. Oleh karena itu, beliau melihat bahwa teologi GKPS dan kultur itu perlu bergandengan karena bagaimanapun GKPS tetap memerlukan keduanya.
“Kalau identitas itu dihilangkan maka hilanglah sejarah. Seperti sebuah kalimat yang mengatakan bahwa kalau ingin menghilangkan satu suku maka hilangkan identitasnya, samarkan sejarahnya. Bahwa setiap zaman ada jiwanya, akan tetapi jangan sampai hilang identitas, yang kehilangan identitas maka dia akan mapar-apar”, tutup St. Prof. Dr. Hisarma Saragih. (bgs/hks)
Pewarta: Pdt. Fran Purba (Pendeta di Litbang GKPS)